KUNINGAN (MASS) – Kemajuan teknologi dalam dua dekade terakhir telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, belajar, dan menjalani kehidupan. Namun, di balik manfaatnya, teknologi juga melahirkan tantangan baru yang tidak ringan: kecanduan digital. Anak-anak muda lebih akrab dengan layar ponsel daripada mushaf Al-Qur’an. Waktu-waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah, justru banyak tersedot oleh konten-konten yang tidak bermanfaat, bahkan berbahaya.
Sebagai pendidik di pondok pesantren, kita menyaksikan gejala ini semakin nyata. Ketergantungan terhadap media sosial, game online, dan video hiburan telah mempengaruhi semangat belajar, konsistensi ibadah, bahkan membentuk karakter yang lemah dalam menghadapi kehidupan nyata.
Maka, perlu adanya kesadaran bersama akan pentingnya digital detox—sebuah konsep untuk beristirahat dari konsumsi digital dan kembali kepada kehidupan yang lebih seimbang, sadar, dan terarah menuju Allah.
Dunia Maya: Ladang Amal atau Perangkap Nafsu?
Digitalisasi membawa banyak kemudahan, namun sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya bagi konten negatif. Dunia maya kini tidak hanya menjadi sumber informasi, tapi juga tempat suburnya maksiat tersembunyi, perdebatan sia-sia, dan candu visual yang membunuh hati.
Kita mulai terbiasa menyentuh layar ponsel sebelum menyentuh air wudhu. Kita merasa lebih dekat dengan tokoh-tokoh maya daripada dengan para guru dan asatidz di lingkungan sekitar. Akibatnya, hadir kecemasan, kegelisahan, hingga lemahnya semangat menuntut ilmu.
Padahal, Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”
(HR. Tirmidzi)
Dampak Kecanduan Digital bagi Ruhani dan Sosial
1. Menurunnya Konsentrasi dalam Belajar dan Ibadah
Fokus yang terpecah karena notifikasi dan keinginan terus-menerus untuk membuka HP menjadikan pelajaran sulit dipahami, hafalan tidak melekat, dan ibadah terasa kering.
2. Berkurangnya Rasa Takut kepada Allah
Kemudahan akses terhadap konten negatif menjadikan hati terbiasa dengan dosa kecil, lalu berlanjut ke dosa besar. Jika hati sudah mati rasa, maka nasihat tidak lagi berbekas.
3. Waktu Habis Tanpa Keberkahan
Satu jam menonton video terasa sebentar, sementara satu halaman kitab terasa berat. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam manajemen waktu dan keinginan.
4. Terjadinya Isolasi Sosial
Ironisnya, semakin sering kita berinteraksi di dunia maya, semakin renggang hubungan kita di dunia nyata. Banyak santri yang sulit berkomunikasi langsung, bahkan dengan teman dekatnya.
Digital Detox: Jalan Tengah Menuju Kesadaran
Digital detox adalah ikhtiar sadar untuk membatasi atau menghentikan konsumsi digital dalam waktu tertentu demi menjaga kejernihan pikiran dan kesehatan hati. Bagi santri dan umat Islam secara umum, ini bukan sekadar gaya hidup, tapi bagian dari proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Beberapa bentuk implementasi detox digital antara lain:
- Waktu bebas gadget: Misalnya, setelah Subuh hingga pukul 8 pagi dan satu jam sebelum tidur.
- Puasa media sosial mingguan: Sehari dalam sepekan tanpa membuka Instagram, TikTok, dan semacamnya.
- Mengganti hiburan digital dengan konten ruhani: Dengarkan murottal, ceramah, atau membaca kisah sahabat.
- Muroja‘ah offline dan halaqah Qur’an: Perkuat interaksi langsung dengan Al-Qur’an dan lingkungan sekitar.
- Menulis jurnal harian: Sebagai bentuk muhasabah dan refleksi diri.
Keteladanan Ulama Terdahulu: Fokus dan Kesederhanaan
Ulama-ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Nawawi hidup dalam keterbatasan fasilitas, namun menghasilkan karya agung yang terus kita nikmati hingga hari ini. Apa kuncinya? Mereka menjaga waktu, menjaga hati, dan menjaga fokus.
Imam Nawawi dalam usianya yang pendek telah menulis belasan kitab monumental. Beliau tidak sibuk dengan hal sia-sia. Bahkan waktu makannya sangat sederhana agar tidak banyak menyita waktu dari menuntut ilmu dan menulis.
Spirit seperti inilah yang harus kita bangkitkan dalam kehidupan modern: mengembalikan makna hidup yang sejati, bukan sekadar eksistensi maya.
Nilai-Nilai Islam dalam Detox Digital
- Murāqabah (merasa diawasi Allah)
Setiap klik dan scroll kita dilihat oleh Allah. Apakah yang kita lakukan membawa pahala, atau justru dosa? - Mujāhadah (melawan hawa nafsu)
Melawan kebiasaan membuka ponsel secara impulsif adalah bentuk jihad pribadi yang sangat berat tapi sangat mulia. - Zuhud (tidak terikat pada dunia)
Dunia digital sering menipu. Detox membantu kita tidak terjebak dalam kemewahan maya yang semu. - Syukr (bersyukur atas nikmat waktu)
Waktu adalah amanah. Jangan sampai hilang sia-sia hanya karena candu konten.
Digital detox adalah kebutuhan ruhani bagi setiap muslim yang ingin menjaga kemurnian hati dan kesucian waktu. Dunia digital bukan tempat kita tinggal selamanya. Akhirat adalah rumah yang abadi. Maka marilah kita mengelola dunia digital dengan bijak, agar ia menjadi wasilah menuju surga, bukan jalan menuju lalai.
Semoga artikel ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita lihat, tapi seberapa dekat kita kepada Allah. Hidup bukan tentang eksis di layar, tapi hadir dalam ibadah dan amal saleh.
Oleh: Eka Sukmana
