KUNINGAN (MASS) – Bawaslu Kabupaten Kuningan jadi sorotan banyak pihak pasca ketuanya, Firman, dilaporkan ke DKPP imbas pernyataan yang diakuinya mengutip Kemendagri, perihal PJ Kepala Daerah yang satusnya ASN harus mundur 40 sebelum pencalonan Pilkada, baru-baru ini, Firman dilaporkan karena dianggap keliru menjelaskan intruksi tersebut.
Purnabakti Kuwu Desa Kertaungaran Kecamatan Sindangagung T Umar Said, angkat bicara soal apa yang terjadi pada Bawaslu Kuningan. Menurutnya, Bawaslu harus memahami esensi UU no. 20 tahun 2023 tentang ASN terutama pasal 56 dan pasal 59 ayat (3), agar tidak salah dalam mengeluarkan statement.
“Kalau saya amati dari ke 5 anggota komisioner Bawaslu (Kuningan) tidak ada satupun yang berlatar pendidikan sarjana hukum. Bawaslu perlu dan butuh yang berlatar belakang sarjana hukum untuk memperkuat kinerjanya. Tujuanya memperkuat kinerja, khususnya memperkuat kewenangan memeriksa dan memutus sengketa pemilu,” ujarnya, Sabtu (29/6/2024).
Kebutuhan sarjana hukum di pengawas pemilu Kabupaten Kuningan, kata Umar, sangat mendesak. Apalagi, karakteristik kewenangan Bawaslu itu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan tentang hukum. Proses pembuktian dalam penanganan perkara, Bawaslu membutuhkan sumber daya yang paham hukum.
“Artinya dari kelima anggota bawaslu idealnya salah satunya mempunyai pendidikan hukum. Selama ini, proses pembuktian beberapa kali terkendala karena kurangnya pemahaman petugas pengawas Pemilu mengenai hukum, sebab latar belakang hukum akan memudahkan Bawaslu menjalankan kewenangan, terutama jika berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan kejaksaan. Kadang kadang dalam proses pembuktian sering terkendala SDM pengawas yang bukan dari latar belakang Fakultas Hukum,” terangnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, selain pengawasan terhadap penyelenggara pemilu, Bawaslu punya kewenangan dan bertugas menyelesaikan sengketa Pemilu. Umar kemudian mengutip pasal 93 huruf “b” UU Pemilu yang menyebutkan, tugas Bawaslu adalah melakukan pencegahan dan penindakan terhadap : pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
“Dalam menjalankan tugas penyelesaian sengketa, anggota Bawaslu akan berhadapan dan msnjalin kerjasama serta koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Untuk itu anggota Bawaslu perlu memiliki pengetahuan hukum,” tegasnya.
Pengetahuan hukum, lanjutnya, dibutuhkan untuk penanganan pelanggaran dan menyiapkan argumentasi hukum ketika berhadapan dengan polisi dan jaksa yang menangani pidana Pemilu. Begitu juga dalam penyelesaian sengketa pemilu, terdapat hukum acara yang sangat khas. Aspek itu, tegasnya, mesti dikuasai oleh seorang anggota Bawaslu, tidak cukup hanya memahami pemilu dan demokrasi saja.
“Jangan sampai (karena) kurangnya pemahaman hukum maka terdapat kesenjangan pengetahuan antara anggota Bawaslu dengan penyidik polisi dan penuntut kejaksaan perihal pelanggaran. Bawaslu acapkali mengatakan suatu tindakan sebagai pelanggaran, tapi ketika sampai ke penyidik menjadi mentah karena tidak seragaman pemahaman tentang pekanggaran pemilu. Semua ini kemungkinan adanya inkonsistensivdalam penerapan hukum acara,” ujarnya.
Umar mengingatkan, sekarang ini Bawaslu harus membuat skala prioritas untuk menjawab kebutuhan kompetensi hukum yang harus dimiliki oleh jajarannya terkait dengan penegakkan hukum dan penyelesaian sengketa.
“Semua ini, saya menilai penting dan perlu Bawaslu kerjasama dengan Fakultas Hukum. Semoga Bawaslu memahami esensi semua UU yang berkaitan dengan pilkada agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” kata Umar. (eki)