KUNINGAN (MASS) – Munculnya kesadaran global dan solidaritas terhadap isu-isu hak asasi manusia dan keadilan sosial semakin meningkat di kalangan anak muda. Itu alasan kenapa Protes Mahasiswa di Amerika Begitu Masif. Bagaimana dengan anak muda di Indonesia?
Solidaritas mahasiswa Amerika terhadap Palestina sangat mengejutkan banyak pihak. Aksi mereka dalam bentuk protes dan mendirikan tenda meminta dihentikan Genosida Israel terhadap Gaza dan Palestinian tersebut disikapi dengan tindakan represif polisi AS.
Tercatat lebih dari 100 Universitas yang tersebar dari Pantai timur sampai Barat negara bagian AS melakukan aksi penghentian Perang oleh Israel terhadap masyarakat Palestina khususnya Gaza.
Koalisi yang melibatkan lebih dari 100 lembaga pendidikan itu, termasuk perguruan tinggi umum, swasta, berbasis agama, dan kolese bersejarah kulit hitam, telah terbentuk untuk mengatasi situasi antara Israel dan Gaza.
Universitas-universitas ternama seperti Harvard, Columbia, NYU, dan Yale termasuk di antara yang mengadakan demonstrasi dan pendirian kamp-kamp signifikan.
Protes tersebut seringkali melibatkan tuntutan agar universitas-universitas tersebut melepaskan investasi dari perusahaan-perusahaan yang dianggap mendapat keuntungan dari aksi-aksi Israel di Gaza, serta menuntut transparansi finansial lebih mengenai investasi universitas.
Di Columbia, misalnya, koalisi yang dipimpin mahasiswa, Columbia University Apartheid Divest (CUAD), bersama kelompok-kelompok seperti Students for Justice in Palestine dan Jewish Voice for Peace, sangat aktif dalam menyerukan gencatan senjata dan pemutusan investasi dari kolaborasi dengan Israel.
Respon terhadap protes ini bervariasi, dengan beberapa kejadian tindakan administratif terhadap mahasiswa dan staf yang berprotes, mencerminkan suasana tegang dan kontroversi di kampus.
Pertanyaan yang harus terjawab kenapa Mahasiswa AS terlibat aktif dalam protes tersebut? Kenapa hal tersebut tidak terjadi dengan mahasiswa Indonesia?
Keterlibatan anak muda, khususnya mahasiswa Amerika Serikat, dalam gerakan menentang apa yang mereka lihat sebagai genosida oleh Israel terhadap Palestina, dapat dijelaskan melalui beberapa faktor sosial, politik, dan teknologi. Analisis ini mencoba menggali lebih dalam tentang faktor-faktor tersebut.
Pertama, kehadiran dan pengaruh sosial media yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda tidak bisa diabaikan.
Sosial media telah mengubah cara informasi disebarkan dan diproses, memberikan platform bagi suara-suara yang sebelumnya tidak terdengar atau marginal.
Generasi muda, yang sering disebut sebagai “digital natives,” cenderung menggunakan sosial media tidak hanya untuk bersosialisasi tetapi juga sebagai sumber berita utama.
Ini memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai perspektif dan narasi yang tidak selalu diwakili dalam media mainstream.
Kedua, terdapat kekecewaan yang berkembang di kalangan anak muda terhadap apa yang mereka anggap sebagai kegagalan institusi politik tradisional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam mengatasi atau menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Penggunaan veto berulang kali oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB terhadap resolusi yang bertujuan untuk mengatasi atau menghentikan konflik ini telah menimbulkan rasa ketidakpuasan dan meningkatkan keinginan untuk mencari solusi di luar lembaga-lembaga tersebut.
Ketiga, kesadaran global dan solidaritas terhadap isu-isu hak asasi manusia dan keadilan sosial semakin meningkat di kalangan anak muda.
Banyak dari mereka yang terlibat dalam gerakan ini melihat persamaan antara perjuangan di Palestina dan perjuangan lain di seluruh dunia, seperti gerakan anti-apartheid dan perjuangan hak sipil.
Dengan demikian, dukungan mereka untuk Palestina adalah bagian dari pandangan yang lebih luas tentang keadilan global dan anti-imperialisme.
Keempat, pendidikan dan kurikulum universitas yang semakin fokus pada studi global dan interkultural juga memainkan peran.
Program-program universitas yang menawarkan kursus tentang studi Timur Tengah, konflik internasional, dan hak asasi manusia memberikan wawasan mendalam dan seringkali kritis tentang situasi di Palestina, mempengaruhi sikap dan pandangan mahasiswa.
Kelima, identitas pribadi dan pengalaman banyak mahasiswa yang terlibat dalam gerakan ini juga mempengaruhi partisipasi mereka.
Mahasiswa dari latar belakang minoritas atau yang memiliki sejarah keluarga yang terkait dengan penindasan dan kolonialisme mungkin merasakan koneksi pribadi yang kuat dengan perjuangan rakyat Palestina.
Kesimpulannya, kombinasi dari akses informasi yang luas melalui sosial media, kekecewaan terhadap institusi politik tradisional, peningkatan kesadaran global terhadap isu keadilan, pendidikan universitas yang inklusif dan kritis, serta pengalaman pribadi yang beragam, semuanya berkontribusi terhadap tingginya tingkat keterlibatan mahasiswa Amerika dalam gerakan ini.
Gerakan ini menandai pergeseran signifikan dalam cara generasi muda terlibat dalam politik global, memprioritaskan solidaritas lintas batas dan tindakan kolektif dalam menghadapi ketidakadilan global.
Peristiwa aksi protes mahasiswa AS tersebut telah memicu diskusi dan aktivisme lebih lanjut mengenai konteks politik yang lebih luas dari konflik Israel-Palestina, menunjukkan interseksi yang kompleks dari isu-isu akademik, sosial, dan politik di kampus perguruan tinggi.
Kenapa Gerakan Anak Muda Indonesia Belum Masif Soal Palestina dan Keadilan Sosial ?
Ketidakhadiran gerakan protes serupa di Indonesia, khususnya yang terkait dengan isu Palestina-Israel, dapat dipahami melalui beberapa faktor struktural dan sosio-politik yang mempengaruhi gerakan paska Pilpres 2024.
Salah satu faktor utama adalah pengaruh yang kuat dari penguasa dan senior dalam menentukan agenda gerakan mahasiswa, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Seluruh Indonesia.
Mahasiswa di Indonesia sering kali berada di bawah pengaruh kuat dari tokoh-tokoh senior dan elit politik yang cenderung mengarahkan fokus aktivisme mereka ke arah yang lebih menguntungkan secara politik daripada murni berdasarkan kesadaran sosial atau keadilan.
Hal ini sering mengakibatkan agenda gerakan mahasiswa yang lebih berorientasi pada kepentingan politik domestik ketimbang isu global seperti yang terjadi di Palestina.
Struktur kepemimpinan dalam banyak organisasi mahasiswa tersebut seringkali bersifat hierarkis, di mana keputusan dan arah gerakan banyak ditentukan oleh senior atau alumni yang telah memiliki posisi dan pengaruh dalam struktur kekuasaan politik.
Pengaruh ini bisa membentuk prioritas gerakan yang lebih fokus pada isu-isu politik internal atau yang memiliki relevansi langsung dengan kepentingan politik atau karir mereka di masa depan, daripada mendorong agenda kesadaran global yang membutuhkan komitmen dan kesadaran yang lebih luas terhadap keadilan sosial dan hak asasi manusia internasional.
Selain itu, kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap aktivitas politik dan demonstrasi di ruang publik juga menambah tantangan bagi mahasiswa untuk menyelenggarakan gerakan besar-besaran yang mungkin dipandang sebagai kritik terhadap sekutu politik luar negeri, seperti Israel.
Oleh karena itu, penting bagi gerakan mahasiswa di Indonesia untuk mengembangkan independensi dalam merumuskan agenda dan kegiatan mereka, bebas dari pengaruh eksternal yang mungkin mengarahkan fokus mereka hanya pada aspek-aspek tertentu dari politik dan kekuasaan.
Sebuah gerakan yang berakar pada kesadaran sendiri dan mendorong partisipasi aktif dalam isu global seperti keadilan untuk Palestina dapat menjadi langkah penting dalam mengembangkan kapasitas gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan keadilan global.
Semoga, kesadaran ini dapat memotivasi gerakan anak muda di Indonesia untuk berpikir secara global dalam memperjuangkan keadilan dan menentang segala bentuk penindasan, sekaligus mengevaluasi dan menantang struktur kekuasaan yang ada yang sering menghambat ekspresi politik mereka.
Ini juga merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengambil inisiatif dalam merumuskan respons mereka sendiri terhadap isu-isu global, sambil belajar dari contoh aktivisme mahasiswa di negara lain.
Penulis : Achmad Nur Hidayat MPP, (Pakar Kebijakan Publik dan Mantan Ketua BEM UI 2003-2004)