KUNINGAN (MASS) – Ketua DMI (Dewan Masjid Kuningan) Dr H Ugin Lugina M Pd mengatakan, sebenarnya aturan pengeras suara ini sudah terwacana sejak lama.
Hanya saja, aturan yang keluar dalam bentuk SE Menag no 5 2022 ini, diresmikan dalam keadaan riak dinamika politik informasi, sehingga agak sensitif bagi umat islam. Ugin menerangkan, mungkin ada perasaan umat islam merasa diatur-atur dan sebagainya.
Meski begitu, Ugin menjelaskan, wacana yang sudah lama ini, rumusan peraturan yang muncul bukan hanya dari pemerintah, tapi juga dari para ulama yang tercanang sejak tahun 78.
“Hanya, di masyarakat ini kan sudah diwarnai dengan tradisi, baca quran ada yang sepanjang waktu, ada juga yang menggunakan tip recorder,” terangnya, Rabu (23/2/2022) sore.
Kebiasaan-kebiasaan itulah, yang kadang bertabrakan dengan realitas, misalnya di sekitar masjid sedang ada yang aktivitas, sakit atau keadaan lainnya.
“Peraturan itu juga membuat tertib antara satu sama lain. Peraturan ini hasil rumusan terpadu, membuat ketertiban dan kekhidmatan ibadah, toleransi juga kenyamanan bagi rumah-rumah sekitar masjid,” imbuhnya.
Sangat maklum, adzan adalah sesuatu yang penting untuk terdengar. Namun lanjut Ugin, untuk iqomat kan memang cukup di dalam. Di masjid, memang ada menejemen akustik (menejemen pengeras suara).
Supaya, lanjut Ugin, tidak ada yang serta merta. Apalagi, masyarakat juga terbagi. Ada yang tidak apa-apa dengan pengeras suara masjid yang bebas, ada juga yang setuju diatur. Bahkan dalam bersyiar.
“Syiar juga kan ada dua, ada yang spekulasi apakah ada yang dengar atau tidak. Ada juga yang jelas (audiensnya) sehingga ukuran suaranya juga diperhitungkan,” tuturnya. (eki)