KUNINGAN (MASS) – Pada Sabtu (30/10/2021) kemarin, Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) Jadetabek menggelar Bincang Buku ‘Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970an’.
Kegiatan yang dibalut dalam Kajian Sore Mentereng (Kasreng) ini, merupakan kajian rutin yang diselenggarakan oleh IPPMK mengenai isu kedaerahan atau pun nasional.
Bincang buku ini sendiri diisi dengan diskusi langsung bersama Aria Wiratma Yudhistira yang merupakan penulis buku tersebut secara daring.
Bincang buku sendiri, berjalan dengan interaktif. Buku ‘Dilarang Gondrong’ sendiri, diakui sang penulis Aria bukanlah buku gaya hidup, tapi penggambaran isu politik yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru terhadap anak muda kala itu.
Kejadian fenomea itu, dikatakan Aria, miris tapi lucu. Pemerintahan Orde Baru yang mengantitesiskan diri terhadap pemerintahan Soekarno merasa fenomena rambut gondrong sebagai ancaman.
Dengan dalih bahwa tujuan pembangunan harus didukung dengan situasi politik yang stabil dan rambut gondrong dinilai sebuah pemberontakan.
“Pada Orde Baru anak muda ingin diedialisasikan sesuai pemerintah saat itu. Karena anak muda dinilai sebagai estapet perjuangan yang telah digariskan, pemerintah merasa perlu mengontrol, membina, dan menyelamatkan anak muda dari berbagai macam gangguan dan pengaruh asing,” sebutnya dalam pemaparan.
Pada masa Orde Baru, lanjut Aria, sangat lazim berita koran berjudul ‘tujuh orang berambut gondrong memperkosa’ atau hal serupa lainnya, yang seolah-olah mengidentikan rambut gondrong dengan hal kriminal.
Razia-raziapun terjadi dengan terang-terangan, baik diruang privat maupun publik.
Dari institusi kampus yang melarang mahasiswa gondrong ikut kelas dan ujian sampai adaya larangan tampil bagi anak muda berambut gondrong di stasiun TVRI.
Bukan hanya di pemerintahan pusat, tapi di berbagai daerah-daerah Indonesia juga terjadi. Contohnya saja di Sumatra Utara, yang mana pemerintah menutup diri dari anak muda yang berambut gondrong.
Di Salatiga, anak muda berambut gondrong tidak mendapatkan layanan di kepolisian. Di Depok anak muda berambut gondrong tidak boleh mendapatkan KTP dan surat bebas G30SPKI, padahal pada saat itu surat bebas G30SPKI merupakan syarat penting untuk bisa hidup nyaman.
Razia-razia di ruang publik pastinya banyak menerima penolakan dan bentrok. Salah satu puncaknya, masih kata Aria, terjadi di Bandung, yakni bentrok antara pihak polisi dan mahasiswa ITB.
Mereka berusaha didamaikan dengan pertandingan sepak bola, yakni pada Oktober 1970, tetapi akhirnya terjadi keributan hingga terbunuhnya Rene Louis Coenraad, salah satu mahasiswa ITB oleh aparat kepolisian.
Aria menegaskan bila bicara soal rambut, sebenarnya memilki sejarahnya panjang. Bila pemerintah orde baru menganggap rambut gondrong bukanlah sebuah nilai bangsa, sebenarnya banyak sekali dari tokoh-tokoh dahulu di masa kerajaan Indonesia memiliki rambut gondrong.
“Justru orang dari luar Indonesialah yang membawa stigma bahwa rambut perlu dirapihkan, agar ada ciri gender bahkan mereperesentasikan ketatan beragama. Dan sampai saat ini, stigma-stigma mengenai rambut gondrong warisan orde baru masih mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Indonesia,” tutupnya di akhir. (eki)