Dengan mengucap nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
Aku merindukan engkau kekasih yang kusayang
Pada lirih selawat terhadap yang maha Esa
Ialah engkau yang senantiasa terngiang di telinga dan mengisi ruang-ruang dalam kepala
Engkau yang didamba oleh rapal do’a
Engkau yang diharap oleh segenap mantra-mantra
Dan engkau yang diburu oleh segala lafal puji dan puja
Inilah aku, cinta
Perempuan yang mencoba setegar karang dan seteguh tebing-tebing gua
Seorang anak benua yang dihidupi oleh kata-kata
Cucu Siti Hawa yang dikuatkan oleh aksara
Cicit beban ganda yang “dirawat” oleh dogma-dogma
//
Dunia begitu jahat, sayang
Perempuanmu terbisu dan malang
Aku dipermainkan dari berbagai penjuru mata angin
Membuatku gamang menentukan mana panas mana dingin
Mana benar, mana salah
Mana cela, mana kaprah
Mana rumah, mana singgah
Dari barat, aku dijerat adat istiadat
Dari timur, aku dikekang anak tetangga yang lebih makmur
Dari selatan, aku diikat norma dan moralitas kehidupan
Dari utara, aku disandera peran ganda serta beban anak pertama
Sungguh sayang, dunia tak ubahnya seperti bajang
//
Taman Argasoka ini begitu indah, manisku
Sayang Dewi Sinta masih meratap pilu
Padahal kukila bernyanyi begitu merdu
Pernah ku berdo’a pada Tuhan yang kita sebut dengan berbagai nama dan kita sembah dengan berbagai cara
Hanya saja
Tuhan sedang sibuk dengan umatNya yang membawa namaNya untuk memukul umat lainnya
Orang-orang dipukul,
Rumah-rumah gusur
Kapitalisme dirangkul
Apa-apa yang baik dikubur
Tidak ada Tuhan hari ini
Tuhan telah mati oleh umatNya sendiri
Jika terus begini
Aku rasa lebih baik menjadi Drupadi
Yang tegar dan teguh hidup dengan 5 suami
Yang tabah dan tangguh melayani putera-putera Dewi Kunti
Sayang, bahkan aku bukanlah tuan atas diriku ini
Seringkali, aku ingin menggugat Walmiki
Aku bakal memesan takdirku sendiri
Aku ingin dibuatkan cerita atas kehendak ku sendiri
Tapi Walmiki, juga sudah mati
//
Arunika bertahta
Rama dan Laksmana dari Ayodya serta balatentara kera dari Gua Kiskenda siap menyerbu Alengka
Dewi Sinta sumringah tiada terkira
Senyumnya ialah pertanda; darma segera meraja
Sedang aku masih sediakala
Termangu dengan apa yang disuguhkan semesta
Hidup, jangan sekadar hidup
Mati, jangan cuma mati
Jangan mati sebelum berguna
Jangan hidup kalau tak berguna
Dunia sudah sesak oleh kosa kata jangan, cinta
Anak-anak kehilangan masa kecilnya
Pemuda desa menangis ingin berkelana
Sedang perempuan meringis ingin memakai gincu sesuka hatinya
Orang tua-orang tua itu seperti jelmaan dasamuka
Yang senantiasa murka jika tidak dituruti kemauannya
Merengek dengan angkara apabila hasratnya membabi buta
Jangan sudah ada di mana-mana
Di muka tenda, di mega-mega
Ia menetes menjadi air mata
Mengalir tak terhingga
Membasahi tawa, menyeret segala cinta dan cita.
//
Aku merindukanmu; kemerdekaanku
Seumpama aksara, huruf membutuhkan kawan untuk menjadi kata.
Begitu pun aku yang membutuhhkan engkau untuk menjadi kita.
Beruntung aku masih hidup sebab bernapas lewat puisi
Mengembus melalui pena yang digerakkan jemari
Katamu, jangan kelimpungan sayang
Menulislah maka kau akan datang
Lewat do’a yang kau panjatkan; semoga aku selalu diterpa ombak dan topan
Lewat kidung yang kau dendangkan; semoga kebaikan terus ditanam. Tumbuh, sekurang-kurangnya ribuan abad yang akan datang
Lewat mantra yang kau rapalkan; semoga udara senantiasa abadi, sekurang-kurangnya sampai dunia ini mati
Lewat puja yang kau lafalkan; semoga kemerdekaan segera pulang, pada kekasih-kekasihnya: perempuan-perempuan malang
Penulis:
Robi Zaenal Muttaqin Nurramdlani (Pegiat Prosa Dua Rupa & Kader IMK)