KUNINGAN (MASS) – Isu pertambangan geothermal (energi panas bumi) di kaki Gunung Ciremai kini mulai jadi topik bahasan kembali semenjak terjadi penolakan beberapa tahun silam. Pihak pro geothermal menganggap banyak keuntungan yang dapat diperoleh jika rencana itu terwujud, terutama dari sisi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Jika mengacu pada UU Panas Bumi yang telah direvisi yakni UU No 21 tahun 2014, klausul bagi hasil 30% dihilangkan. Daerah Penghasil hanya akan diberikan bonus yang nilainya belum jelas. Apakah itu bonus dari penjualan listrik energi panas bumi, bonus produksi dari pendapatan bersih atau kotor, atau istilah bonus lainnya.
Pajak dan retribusi pun kerap jadi incaran celah agar kas daerah terisi dari rencana geothermal apabila terwujud. Entah bagaimana menghitungnya.
Padahal, jika regulasinya masih seperti dulu terdapat pembagian yang jelas dari sisi bagi hasil. Persentasenya 30% untuk Kabupaten Penghasil, Kabupaten Sekitar Daerah Penghasil hingga Provinsi.
Okky Satrio selaku tokoh Gerakan Massa Pejuang Untuk Rakyat (GEMPUR) yang dulu menolak rencana Geothermal, sempat memberikan ulasan kaitan dengan keuntungan dan kerugian yang dapat diperoleh Kabupaten Penghasil.
“Pembagian 30% dalam UU Panas Bumi sebelum revisi Jelas dan Tegas masuk Pandapatan Asli Daerah. Sementara Bonus itu dihitung dari besaran apa? Pajak dan Retribusi daerah itu jika panas bumi memiliki pengolahan Smelter jadi hasilnya (out put proses produksinya) Jelas. Jadi, besaran Pajak dan Retribusi untuk daerahnya Jelas,” ucap dia.
Karena penentuan Besaran Bonus kepada Daerah Penghasil yang Tidak Transparan itu, sambung Okky, akan dilakukan oleh Pemegang Kontrak Pertamina Geothermal. Besaran Bonus yang akan diterima itu, menurutnya, tidak ditentukan oleh pemerintah daerah.
“Ingat itu, besaran Bonus tersebut ditentukan oleh Pemegang Kontrak bukan oleh Pemerintah daerah,” tandasnya.
Ternyata, ada masalah lain dari UU yang telah direvisi tersebut. UU lama menjelaskan, jika dalam Pengeboran Panas Bumi ditemukan Material atau Mineral lain seperti Emas (Aurum) dll maka itu 100% milik Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara di UU yang telah direvisi hal itu tidak dijelaskan sehingga 100% Mineral ikutan yang ditemukan menjadi milik Pemegang Kontrak. Berapapun penghasilan yang didapat dari proses tersebut tidak perlu dikembalikan kepada Daerah Penghasil ataupun Provinsi.
“Hal ini sangat tidak transparan dan menimbulkan nuansa bahwa Bonus tersebut sangat subyektif dan berkecenderungan meningkatkan Fraud dalam transparansi anggaran daerah,” ungkap Okky.
Dengan munculnya kembali isu Geothermal ini, kelihatannya perlu ditelusuri apakah memang rencana tersebut mau dihidupkan kembali? Kalau iya, siapakah pemenang tendernya?. (deden rijalul umam)
Gambar di atas ilustrasi, sumber sindonews.com