KUNINGAN (MASS) – Ujian Nasional (UN) mau balik lagi? Serius? Seketika, memori masa SMA saya loncat ke masa lalu. Saya masih ingat betul, malam sebelum ujian, saya tidur sambil peluk buku. Bukan karena rajin, tapi karena takut. Takut gagal. Takut mengecewakan orang tua. Takut jadi “tidak lulus”.
Sekarang, pemerintah mau UN dihidupkan lagi nanti di bulan November 2025 mendatang, dan ini sedang ramai dibicarakan. setelah sebelumnya ditiadakan. Rencananya, UN akan hadir dengan format yang berbeda dan diperbarui. Namun sebagai pendidik, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya: apakah kita benar-benar telah belajar dari pengalaman sebelumnya?
Karena bagi sebagian besar siswa, UN bukan cuma sekadar ujian. Ia adalah hari penghakiman. Penentu nasib. Hari di mana semua nilai dan proses belajar selama bertahun-tahun dipadatkan jadi satu-dua lembar kertas soal. UN akan kembali menjadi sumber tekanan, kecemasan, bahkan trauma.
Semoga ini hanya suudzon saya aja. Sebagai seorang dosen, saya sering menjumpai mahasiswa yang masih terbawa pola pikir “nilai lebih penting dari proses”. Sebuah pola yang berakar kuat dari sistem evaluasi pendidikan yang terlalu menekankan pada ujian berbasis standar nasional tunggal.
Lagi-lagi pengalaman pribadi saya pun turut berbicara. Dulu, ketika menjadi siswa, UN terasa seperti vonis akhir. Satu hari menentukan segalanya. Semua proses belajar bertahun-tahun seolah tidak ada artinya jika gagal menjawab soal dengan benar. Bukan hanya tekanan akademik yang muncul, tetapi juga tekanan sosial dan psikologis. Kalau nggak lulus, bisa jadi aib keluarga. Kala itu.
Secara akademis, kita menyadari bahwa evaluasi adalah bagian integral dari proses pendidikan. Namun dalam pendekatan pedagogi modern, evaluasi seharusnya bersifat formatif dan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh. Evaluasi sebaiknya tidak menjadi alat seleksi yang menimbulkan kecemasan massal, tetapi menjadi alat refleksi untuk memperbaiki proses pembelajaran. Baik di tingkat individu maupun sistem itu sendiri.
Siswa bukanlah entitas homogen yang bisa dinilai dengan satu alat ukur. Beberapa unggul di numerik, sebagian lainnya di literasi, seni, atau keterampilan sosial. Oleh karena itu, bentuk evaluasi seperti portofolio pembelajaran, proyek kolaboratif, atau asesmen berbasis kompetensi layak dipertimbangkan sebagai alternatif.
Kembalinya UN patut dikaji ulang secara mendalam. Bukan hanya dari aspek teknis atau administratif, tetapi dari sudut pandang psikologis, pedagogis, dan sosiologis. Apakah sistem pendidikan kita sudah cukup adil dan merata untuk memberlakukan standar nasional tunggal? Apakah infrastruktur dan kualitas guru di seluruh Indonesia sudah setara? Dan yang paling penting, apakah siswa-siswa di sekolah sudah cukup tangguh untuk kembali menghadapi sistem yang pernah membuat mereka takut belajar?
Menurut saya, jika kita belum bisa menjawab “ya” dengan yakin, maka kita sebaiknya menahan diri. Dunia pendidikan bukan tempat untuk coba-coba kebijakan. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya nilai rapor, tapi masa depan generasi bangsa. Akhir kata, jika tulisan ini terdengar terlalu keras, mohon dimaafkan. Sebagai pendidik, saya hanya menyuarakan kegelisahan. Bukan untuk menentang, tapi untuk mengingatkan.
Penulis: Agus Saeful Anwar (Dosen UM Kuningan)
