KUNINGAN (MASS) – Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 mengundang reaksi publik khususnya wali murid. Di sejumlah daerah terjadi aksi penolakan penerapan sistem zonasi dalam PPDB 2019. Karena itu, banyak pihak mendesak sistem zonasi PPDB agar dihentikan.
“Pemerintah semestinya menghentikan sistem zonasi dalam PPDB 2019 ini karena banyak penolakan dari para orang tua peserta didik. Para wali murid galau dan bingung dengan sistem PPDB sekarang ini. Dan, tidak sedikit memunculkan kekesalan pada kebijakan yang dinilai tidak berkeadilan,” ujar Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan (FKIP UNIKU), Fahrus Zaman Fadhly, Kamis (20/6/2019).
Fahrus berpendapat sistem zonasi dalam PPDB baru efektif bila pemerintah telah bekerja keras dalam memeratakan kualitas dan layanan pendidikan di semua satuan dan jenjang pendidikan.
“Kebijakan ini tidak berdasarkan pemikiran yang matang. Pemerintah hanya berfikir pemerataan atau persebaran siswa. Hanya berupaya dalam pemerataan entry behaviour (input) peserta didik, bukan peningkatan kualitas pendidikan secara sistemik,” ucapnya.
Ia menegaskan, upaya mendongkrak kualitas pendidikan bukan hanya unsur siswa semata. Ada unsur lainnya yang menuntut perhatian pemerintah. Sistem zonasi PPDB ini, menurut Fahrus, terbukti tidak menjawab persoalan pemerataan mutu pendidikan.
Lebih jauhpihaknya menjelaskan Permendibud Nomor 51 Tahun 2018 yang mengutamakan kedekatan jarak rumah peserta didik dengan sekolah terbukti banyak menuai kontroversi dan justru menambah catatan buruk pemerintah dalam memajukan mutu pendidikan.
“Bahkan sejumlah klausul dalam Permendikbud No 51/2018 yang secara substansial tidak sesuai dengan spirit zonasi yang mendekatkan jarak rumah peserta didik dengan sekolah, seperti tampak pada Pasal 14 yang mengatur apabila sekolah kelebihan pendaftar dari daya tampung maka disalurkan ke sekolah lain dalam satu zonasi, jika dalam satu zonasi tidak ada sekolah yang bisa menampung maka disalurkan ke sekolah lain di luar zonasi,” paparnya.
Sistem Zonasi juga dinilai tidak mendidik dan memotivasi peserta didik untuk belajar dengan keras dan tekun untuk meraih prestasi. Pada akhirnya, kata Fahrus, anak akan mengalami demotivasi untuk belajar. Sebab, sistem zonasi ini sudah menjamin mereka masuk ke sekolah favorit tersebut, walaupun prestasinya sangat buruk.
“Seorang anak-anak bermalas-malasan dalam belajar, karena dalam benaknya tertanam akan masuk sekolah negeri favorit karena dekatnya jarak rumah dengan sekolah. Sementara bagi anak-anak yang jauh, harus sungguh-sungguh belajar untuk meraih nilai yang bagus untuk bisa masuk sekolah pilihan dengan jalur kombinasi,” tuturnya.
Kandidat doktor Pendidikan Bahasa ini juga menilai penghargaan pemerintah terhadap anak-anak berprestasi sangat kecil. Kendati sang anak banting tulang belajar, tetapi mereka tidak akan bisa mewujudkan impiannya untuk belajar di sekolah pilihan. Karena itu, kebijakan ini bersifat sangat parsial dan dalam batas tertentu merusak iklim dan budaya belajar yang sudah terbangun dengan baik di suatu sekolah.
“Bagaikan membangun rumah, pemerintah langsung memasang atapnya dulu, bukan fundasi dan pilar pendidikan. Ya, berantakan. Pemerintah mestinya fokus pada tiga pilar pendidikan yakni peningkatan ‘kualitas dan kesejahteraan guru’, ‘fasilitas pendidikan yang memadai, dan kualitas Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan atau LPTK’” tambahnya.
Ironi lain dari kebijakan zonasi ini adalah dihapusnya jalur guru. Ini tentu berimplikasi pada fokus perhatian guru. Para pendidik ini harus mengantarkan putranya berkilo-kilo meter yang arahnya berlawanan dengan arah menuju sekolah tempat mereka mengajar.
“Tentu ini akan menguras energi dan perhatian mereka. Pada satu sisi, sejumlah guru mengeluh, pemerintah menuntut agat bisa membimbing, mendidik dan mengasuh anak orang lain, sementara putra-putrinya sendiri luput dari perhatian mereka. Ini tentu menjadi ironi tersendiri,” pungkas dia. (deden)