KUNINGAN (MASS) – Secara historis, NU didirikan oleh sekelompok ulama terkemuka dipimpin KH. Hasyim al-Asy’ari pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Ini berarti pada tanggal 16 Rajab 1444 sekarang NU berulang tahun ke 100. Satu abad sudah dijalani dengan konsisten terus memperjuangkan kepentingan Islam Tradisional terutama sistem kehidupan pesantren dari gerusan modernisasi beserta organisasi-organisasi pendukungnya. Maka jargon yang terkenalnya almuhafadzotu ala qodiimisholih wal akhdu lijadiidil ashlah, merawat nilai-nilai tradisi lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih maslahat.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela pluralitas, menolak pembatasan bermadzhab tunggal dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Puncak dari kekecewaan itu, karena sikapnya dianggap berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Di sisi lain memang secara intrinsik telah lama tumbuh motivasi kuat untuk membentuk organisasi yang lebih solid dan lebih sistematis dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Bahkan untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, KH. Hasyim Asy’ari telah merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), lalu juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian dimanifestasikan dalam Khittah NU yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak di bidang sosial, keagamaan dan politik (Lihat Wikipedia).
Seorang antropolog orientalis, Martin Van Bruinessen bahkan menyebut NU keorganisasiannya sangatlah unik dan tidak ada kesamaannya di dunia Islam manapun. NU didirikan oleh sekelompok ulama terkemuka, pemimpin pesantren yang sejak awal bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan Islam Tradisional terutama sistem kehidupan pesantren dari gerusan modernisasi beserta organisasi-organisasi pendukungnya. Maka jargon yang terkenalnya almuhafadzotu ala qodiimisholih wal akhdu lijadiidil ashlah, merawat nilai-nilai tradisi lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih maslahat.
Dalam pandangan kaum modernis, over proteksi pada tradisi adalah gaya berpikir kolot, terbelakang dan hanya akan membuat orang menjadi jumud tidak maju. Karenanya kalangan tradisionalis kerap kali dicemooh, dikucilkan dan bahkan dipandang skeptis sebelah mata. Betapa tidak, studi litarasi kesarjanaan di Indonesia sampai dekade tahun 60 an seperti tak ada ilmuwan yang tertarik meneliti dan menulis tetang kuam tradisionalis ini.
Tak ada satu artikel, monograf atau desertasi Doktor pun yang secara khusus membahas NU. Namun siapa sangka perilaku kesederhanaan yang begitu takdzim kepada tradisi ini telah mencuri perhatian para sarjana dan peneliti Barat pada dekade Tahun 70 an dan berlanjut Dekade 80 an bahkan sampai dekade 90 an. Salah satunya adalah Greg Barton dan Greg Fealy yang meneliti dan menyusun buku berjudul “Nahdhotul Ulama. Traditional Islam and Modernity in Indonesia.” Buku ini kemudian diterjemahkan dengan judul; “ Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdhotul Ulama-Negara.”
Salah satu penyebab hal itu adalah kegagalan modernisasi yang awalnya dikagumi dapat mengantarkan kepada kemajuan dan peradaban manusia tapi ternyata telah menjadi biang keladi penyakit dehumanisasi di semua lini kehidupan. Gejala ini yang memicu arus balik pada sebagian masyarakat Barat yang mencari alternatif dari kegagalan nilai modernisasi. Jiwa mereka haus akan nilai-nilai spiritualitas yang bisa menyejukkan, menentramkan.
Hal yang serupa juga dirasakan oleh pengagum modernisme di Tanah air. Banyak tradisi sholeh yang tergerus gejala modernisme dan sekarang justru dirindukan. Beberapa tradisi seperti kebiasaan maghrib mengaji, yang sudah menjadi tadisi baik dan terwariskan turun temurun kini hilang tergerus masif nya serangan internet, televisi, dan gedget. Begitu pula dengan radisi kekeluargaan, tolong-menolong, silaturahmi kini kian terkikis oleh budaya modernis. Maka pada posisi ini apa yang dilakukan kaum tradisionalis untuk senantiasa merawat tradisi makin menemukan banyak pendukungnya.
Sejarah perkembangan NU dapat dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode tahun 1926-1930. Pada periode ini NU terlahir sebagai Organisasi Islam sosial keagamaan. Kiprahnya masih dalam koridor melindungi idiologi Islam tradisional dan sistem kehidupan pesantren. Di periode ini NU belum terjun secara langsung ke politik praktis.
Kedua, periode tahun 1930-1984. Pada periode ini NU selain sebagai organisasi sosial keagamaan, secara pelan tapi pasti memasuki politik praktis. Hal ini ditandai dengan NU mentransformasikan dirinya masuk ke Partai Masyumi. Walaupun sudah bisa diprediksi tidak bisa bertahan lama karena bakal mengahdapi hambatan ideologis dengan kalangan modernis. Karenanya ditahun 1952 NU keluar dari Masyumi lalu mendeklarasikan diri menjadi partai politik baru. Puncak periode ini adalah pada Pemilu 1955 NU sebagai partai kontestan terbesar ketiga dengan perolehan suara 18%.
Ketiga, periode 1984 sampai sekarang. Setelah masa Orde Baru, NU mengalami retriksi dan intimidasi yang memaksanya untuk berpusi ke PPP. Saat itu Suharto merubah sistem multi partai dan mereduksinya menjadi dua partai ditambah satu Golongan Karya. Selama bergabung di PPP ini NU telah mengambil perannya menjadi oposisi terhadap Pemerintah Suharto saat itu. Peran ini semakin melemah hingga akhirnya di tahun 1984 keluar dari PPP dan Abdurahman Wahid (Gusdur) mendeklarasikan NU kembali ke khittoh 1926, NU kembali sebagai Organisasi Islam sosial keagamaan.
Sejarah perkembangan di atas telah memotret sosok NU yang selalu “akomodatif”. Ia begitu adaptasi dan peka terhadap situasi. Dari mulai periode awal dengan mengambil peran yang lembut (soft traditionalisme) sampai peran radikal sebagai oposisi Pemerintah Orba. Sebuah peran yang cukup radikal di zamannya. Maka atas alasan itulah buku yang disusun oleh Greg Barton dan Greg Fealy ini menamai NU sebagai “tradisonalisme radikal”. Peran-peran di atas itu begitu unik. Maka jika saat ini NU menampakkan posisi yang lebih mendekati Pemerintahan Jokowi, maka itu harus dipahami bahwa NU sedang memainkan peran “uniknya”.
Sebagai penutup, lewat kalangan tradisional ini kita diajarkan bahwa setinggi apapun modernisasi yang kita anut, seharusnya kita tidak melupakan peninggalan baik para pendahulu kita. Semoga kita menjadi manusia yang bisa menggapai kemajuan setinggi langit tetapi tidak melupakan akar tradisi dari mana kita berasal. Selamat memperingati Satu Abad NU. Waalhu a’lam bissawwab.
Penulis : H. Muhamad Jaenudin, S.Ag.MH. ( Wakil Katib MWC NU Kecamatan Cigandamekar, Kepala KUA Kec. Pancalang)
Atep
7 Februari 2023 at 10:47
Sae pisan kang izin share kangge generasi muda