KUNINGAN (MASS) – Pelaksanaan ibadah Puasa tahun ini sudah memasuki separuh bulan. Jika secara umum dibagi ke dalam tiga space waktu, sepuluh pertama sampai sepuluh ketiga, saat ini sudah memasuki waktu sepuluh kedua Ramadhan. Apakah separuh bulan puasa ini sudah mendekatkan diri pada indikator atau derajat takwa atau hanya biasa-biasa saja?
Renungan terhadap puasa penting dilakukan. Supaya seiring dengan berakhir masa pelaksanaan puasa, usaha untuk mencapai kualitas manusia terbaik bisa diraih. Jangan sampai semangatnya biasa-biasa saja apalagi semakin kendor.
Sebagai rutinitas tahunan, puasa tahun ini harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Puasa tahun ini harus bisa melampaui puasa pada umumnya, yang hanya menahan haus dan lapar serta hasrat seksual dari mulai terbit matahari sampai magrib. Puasa tahun ini harus mencapai predikat takwa, yaitu kesadaran penuh bahwa setiap manusia senantiasa diawasi oleh Allah Swt, kapan pun dan dimana pun.
Melalui kesadaran itu, pelaksanaan puasa bisa benar-benar melatih diri. Bisa meningkatkan kualitas diri supaya menjadi manusia paripurna yakni menjadi hamba di satu sisi dan menjadi wakil Tuhan di muka bumi, di sisi yang lain. Ketika menjadi hamba, setiap manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah Swt semata. Pada posisi ini, manusia hanya bisa berserah diri dan taat melaksanakan perintah-Nya. Termasuk taat melaksanakan ibadah puasa.
Ketika menjadi Wakil Tuhan, setiap manusia dianugrahi potensi yang besar untuk memikirkan, menciptakan, dan merawat peradaban. Manusia diminta untuk kreatif berpikir, mencipta dan merawat berbagai hal yang sejalan dengan spirit ajaran agama. Melalui bulan puasa ini, kesadaran manusia sebagai hamba sekaligus khalifah ini kembali dilatih atau dididik supaya semakin sensitive, sehingga mampu melaksanakan amanah sesuai tugas dan fungsinya.
Upaya pendidikan tersebut dilakukan dengan mengurangi asupan makanan dan minuman, walaupun halal, sejak terbit matahari sampai magrib. Tetapi batasan dari mulai terbit matahari sampai magrib itu bukan berarti membuka peluang pemindahan makan dan minum dari siang ke malam, dengan berbagai jenis makanan dan minuman dikumpulkan untuk dimakan melapaui batas. Tidak. Jika hanya sekedar pemindahan makan dan minum, pendidikan dari puasa justru akan sirna. Yang terjadi justru prilaku yang kontradiktif dengan spirit puasa itu sendiri. Seperti menghasilkan sampah dapur yang berkali lipat dari bulan-bulan lainnya, dan merogoh kantong yang berkali lipat dari bulan-bulan sebelumnya. Puasa justru boros.
Pengurangan asupan makanan dan minuman serta pengekangan hasrat seksual selama puasa harus dialihkan pada penguatan asupan isi kepala (pikiran) dan hati (rasa). Kebutuhan perut dan hasrat seksual dikurangi, pikiran dan rasa harus diperkuat dengan berbagai aktivitas yang dianjurkan. Tadarus al-Qur’an harus bisa mengisi ruang pikiran dengan berbagai pengetahuan dan informasi dari al-Qur’an seolah-olah al-Qur’an diturunkan untuk kita. Pelaksanaan shalat malam harus menguatkan rasa dan ketaatan kepada Allah. I’tikap harus membuka renungan tentang berbagai hal kehidupan. Begitupun aktivitas-aktivitas lainnya.
Penguatan pikiran dan rasa selama puasa itulah yang menjadi upaya penyucian jiwa dan pengembangan potensi manusia. Dari jiwa-jiwa yang suci itu kemudian melahirkan tindakan atau perbuatan baik dan bermoral. Sementara pengembangan potensi manusia melahirkan kreativitas yang merepresentasikan nilai-nilai ketuhanan seperti kepedulian sosial, kepedulian terhadap lingkungan, penyantun, ramah, dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Wallahu a’lam.
Penulis : Sopandi, Dosen Unisa Kuningan