KUNINGAN (MASS) – Pasca gelaran Pemilu dan Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kembali menjadi sorotan. Masyarakat mempertanyakan aktivitas kedua lembaga ini setelah pesta demokrasi usai, sementara gaji besar tetap mengalir ke rekening para komisioner. Di tengah gencarnya pemerintah mengampanyekan efisiensi anggaran, keberadaan KPU dan Bawaslu seolah janggal, benarkah mereka masih bekerja?
Secara formal, KPU dan Bawaslu tidak sepenuhnya berhenti bekerja setelah pemilu selesai. KPU masih memiliki kewajiban untuk menyusun laporan pertanggungjawaban, mengarsipkan dokumen pemilu, hingga mempersiapkan tahapan pemilu berikutnya. Sementara itu, Bawaslu tetap melakukan pengawasan pasca-pemilu, termasuk menindaklanjuti sengketa yang mungkin muncul. Namun, di mata publik, kerja-kerja ini sering kali tak terlihat, apalagi dibandingkan dengan intensitas mereka saat pemilu berlangsung.
Yang menjadi persoalan adalah besaran gaji dan tunjangan yang diterima para komisioner KPU dan Bawaslu, yang nyaris tidak berubah meski beban kerja jauh berkurang. Seorang komisioner KPU, misalnya, masih menerima gaji puluhan juta rupiah per bulan, plus berbagai tunjangan, sementara aktivitas mereka tidak lagi sesibuk masa pencoblosan. Di sisi lain, pemerintah justru gencar memangkas anggaran di berbagai sektor, termasuk program sosial, dengan dalih efisiensi. Hal itulah yang jadi sorotan aktivis mahasiswa, Wirya NF.
“Apakah memang tugas mereka hanya ketika momentum pesta rakyat di Pilpres dan Pilkada saja ? Kalau memang pasca pesta rakyat itu tugasnya sudah ringan, seharusnya ada penyesuaian gaji atau bahkan pengurangan jumlah komisioner,” ucap Pengurus Keilmuan di IMK tersebut.
Pemerintah kerap menyuarakan pentingnya efisiensi belanja negara, termasuk dengan memangkas angggaran kementerian dan lembaga. Namun, masih kata Wirya, KPU dan Bawaslu seolah kebal dari prinsip ini. Padahal, jika merujuk pada praktik di negara lain, beberapa komisi pemilihan justru bersifat ad hoc—dibubarkan setelah pemilu selesai dan dibentuk kembali ketika pemilu berikutnya akan digelar.
Di Indonesia, KPU dan Bawaslu justru menjadi lembaga tetap dengan struktur yang besar. Tidak hanya komisioner, tetapi juga sekretariat dan staf yang jumlahnya ratusan, tetap digaji penuh meski tidak lagi dalam masa kerja tinggi.
Wirya mengklaim, masyarakat mulai menuntut transparansi lebih besar dari kedua lembaga ini. Apa sebenarnya yang mereka kerjakan di luar masa pemilu? Apakah anggaran yang dikeluarkan sebanding dengan output yang dihasilkan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan data, bukan sekadar penjelasan normatif.
“KPU dan Bawaslu memang punya tugas pasca-pemilu, tetapi apakah beban kerja itu sepadan dengan anggaran yang mereka terima? Di tengah situasi ekonomi yang masih berjuang pasca pandemi, efisiensi harus berlaku untuk semua—tanpa kecuali. Jika tidak, wacana penghematan anggaran pemerintah hanya akan dianggap sebagai retorika belaka, sementara dana negara terus mengucur untuk lembaga yang aktivitasnya tak lagi seintens dulu,” ujarnya di akhir. (rqb/mgg)
