KUNINGAN (Mass) – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diduga sepihak menimpa salah seorang karyawan Bank Danamon, Dedi Setiawan akhirnya dipersoalkan. Pria asal Kuningan yang sudah bekerja selama 20 tahun di bank tersebut melakukan protes dan melayangkan aduan ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kuningan.
Dedi dengan didampingi Ketua Umum DPP Serikat Pekerja Danamon, Abdoel Moedjid beserta ketua advokasi, Bambang Utomo, serta Ketua Wilayah 02 Jabar Serikat Pekerja Danamon, Irwan Lastiawan memberikan keterangan pers kemarin, Rabu (3/8), usai mendatangi kantor Dinsosnaker Kuningan.
“Barusan kita sudah menggelar pertemuan di Dinsosnaker Kuningan. Kita dipertemukan dengan empat utusan dari manajemen Danamon yang dimediasi oleh pejabat Dinsosnaker Kuningan,” terang Abdoel Moedjid didepan sejumlah awak media.
Dia menceritakan, sejak 20 tahun lalu sudah menjadi pegawai Bank Danamon. Bahkan tak heran, jika dirinya menilai manajemen Bank Danamon telah melanggar UU 21/2000 tentang serikat pekerja, dan juga UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan karena dinilai melakukan PHK secara sepihak.
“Pak Dedi ini pengurus pusat Serikat Pekerja Danamon. Berdasarkan UU 21/2000, PHK harus seijin Serikat. Perjanjiannya juga ada,” tegas Moedjid.
Menurutnya, PHK tersebut merupakan sebuah upaya melemahkan Serikat. Terlebih, Dedi diberhentikan tanpa ada kesalahan. Tuduhan pihak manajemen terhadap Dedi, akibat mangkir kerja.
“PHKnya tanggal 31 Juni 2016. PHK terhadap Dedi akibat dari langkah PHK masal sekitar 2000 orang se Indonesia pada tahun 2015. Kedoknya pensiun dini,” katanya.
Tahun lalu, Dedi menjabat Regional Funding Service manager yang meliputi Cirebon , Majalengka dan beberapa daerah Jateng. Saat itu terjadi penghapusan struktur jabatan dan ia ditawarkan untuk pensiun dini. Padahal batas usia pensiunnya masih 10 tahun.
“Saya ditawarkan pensiun dini, tapi saya meminta agar ada penambahan materi pesangonnya waktu itu. Lalu ada pertemuan namun tak ada kesepakatan. Mestinya, setelah tidak ada kesepakatan itu, beralih pada penyelesaian lewat pihak ketiga, tapi tak dilakukan,” ungkapnya.
Dalam perjalanan, manajemen justru menawarkan jabatan yang levelnya lebih rendah dari sebelumnya di Majalengka. Dedi menolak dan lebih memilih pensiun dini dengan tuntutan penambahan materi pesangon seperti sebelumnya. Dalam menunggu penyelesaian, ia ngantor ke Bank Danamon Kuningan karena dekat kediamannya di Babatan Kadugede.
“Tapi justru malah keluar surat tugas terhitung 28 April 2016 di Majalengka. Keluar surat panggilan pada bulan Juni, kemudian saya respon lewat email. Pada 31 Mei keluar SK bahwa permohonan pensiun dini saya ditolak dan dibatalkan,” ucapnya.
Selanjutnya, muncul surat panggilan kedua di Majalengka yang kemudian Dedi menghadiri. Saat itu dirinya tetap mengajukan pensiun dini dengan harapan ada penyelesaian oleh pihak ketiga sesuai aturan.
“Malah kemudian ada surat baru yang menyatakan bahwa saya mundur terhitung 31 Juni 2016 sehingga gaji tak dibayarkan,” terangnya.
Menurut Dedi dan Moedjid, PHK tersebut bisa dianggap skenario sepihak. Pada saat permintaan tambahan pesangon belum inkrah, mestinya berlanjut pada upaya penyelesaian lewat pihak ketiga.(andri)