KUNINGAN (MASS) – Sewaktu menjabat kabag humas setda 2006 silam, Dr Dian Rachmat Yanuar MSi yang kini menjabat sekda, mengakui jika dirinya digembleng oleh insan pers, disamping oleh maha gurunya yakni Alm H Aang Hamid Suganda.
“Saya jadi seperti sekarang, yang membentuk saya hingga jadi seperti ini, kontributornya selain maha guru saya almarhum pa Aang, juga temen-temen pers,” ungkap Dian saat menghadiri SW#2 (Sharing Wawasan) PWI Kuningan di RM Ma Nioh, Jl Soekarno, Selasa (14/11/2023) sore.
Ia mengungkapkan, kritik yang telah menjadi salah satu tupoksi dari pers itu justru dipandang positif. Bagi Dian, pemerintahan akan stabil/bagus ketika terbuka pada kritikan. Tak heran jika dirinya kerap mengatakan bahwa kritik itu obat.
“Kritik itu obat. Obat akan menyehatkan ketika diminum dengan dosis yang benar, yang sesuai dan tepat,” tandasnya dihadapan belasan insan pers PWI yang serius menyimak panglima ASN tersebut.
Oleh karenanya, Dian berpesan kepada birokrat agar tidak alergi terhadap wartawan yang benar. Berikan informasi yang sebenarnya tanpa harus mengandalkan jubir yang terkadang memiliki keterbatasan. Sebab dalam diri seorang ASN, terkandung tugas untuk disampaikan ke publik baik program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan.
“Ketika ada kritikan, jadikan obat untuk mengoreksi diri. Tapi kalau obatnya tidak wajar, tendensius dan bersifat personal maka itu harus dikoreksi. Di tubuh pers pun sudah ada UKW (uji kompetensi wartawan) guna mengantisipasi ketidakwajaran obat. Masyarakat perlu dicerdaskan dengan tulisan yang proporsional, begitu juga birokrat,” serunya.
Dalam pemaparannya, Dian banyak menceritakan kisah-kisah yang berkesan sewaktu menjabat kabag humas ditahun 2006 silam. Bahkan bagi dia, menjadi kabag humas merupakan tugas yang paling berkesan sepanjang menapaki karirnya di pemerintahan.
Dengan beragam karakter dan gaya wartawan, dirinya dituntut untuk melakukan pendekatan yang tidak hanya bersifat akademis. Dian menyadari, pola komunikasi praktek langsung di lapangan itu lebih bervariasi dan banyak ilmu yang dapat ditimba.
“Saya jadi banyak temen, banyak sahabat yang justru secara keilmuan lebih pintar dari kita. Secara langsung ataupun tidak langsung, disadari atau tidak, temen-temen perslah yang telah membentuk saya tumbuh dan berkembang dalam kurun waktu 3 tahun 6 bulan,” ungkapnya.
Banyak program yang digulirkan waktu itu atas dorongan wartawan. Salah satunya, Dian menerbitkan Karlipda (Kartu Liputan Daerah) guna melindungi wartawan yang mampu menulis dan bermedia. Terobosan itu rupanya membuat Alm Aang selaku bupati menyanjungnya karena dianggap mampu melakukan perubahan.
“Saya inget betul petuah beliau (Alm Aang). Sundanya begini, Hirup teh kudu boga pamadegan. Saya mah teu reuseup mun asup ka lingkungan terus teu ngalakukeun perubahan. Jiga ente alus, aya karlipda, ngagagas pacuan kuda jeng sajabana. Tah nukitu, aya perubahan,” tutur Dian menirukan gaya Alm Aang.
Menurut Aang, lanjut Dian, terdapat dua konsep pemikiran manusia. Ada orang yang menganggap apapun sebagai sebuah hambatan. Contoh, ketika tidak ada anggaran maka tidak membangun. Ketika tidak ada air maka tidak mandi.
Ada pula orang yang justru menganggap hambatan itu sebagai peluang. Keterbatasan dijadikan peluang oleh orang tersebut. “Beliau mencontohkan, ada kekurangan air di Cigugur. Lalu ada seorang anak yang justru menggali air untuk kemudian dijual,” tuturnya lagi.
Kata kunci dari apa yang diamanatkan Alm Aang, menurut Dian, adalah perubahan. Itu sinkron dengan apa yang didorong oleh insan pers.
Pantauan kuninganmass.com, diskusi yang dihadiri belasan pengurus dan anggota PWI Kuningan itu diselingi gelak tawa keakraban. Turut serta Kadiskominfo, Ucu Suryana MSi beserta jajaran kabidnya.
Terungkap jika diskusi bertajuk SW (Sharing Wawasan) itu digagas oleh Panitia Konferensi PWI sebagai rangkaian kegiatan konferensi guna melahirkan calon pengurus baru yang ditulari oleh orang-orang hebat. (deden)