KUNINGAN (MASS) – Musim mudik lebaran 1444H/2023M tiba. Berdasarkan data sementara Kementerian Perhubungan, total jumlah penumpang angkutan umum pada H-7 kemarin sebanyak 586.270 orang, lebih tinggi dibanding H-8 (565.633 orang). Angka ini juga meningkat 9,79% jika dibandingkan dengan H-7 tahun 2022 (528.850 orang).
Berita di atas adalah sesuatu yang biasa disaksikan tiap tahun menjelang Lebaran. Atas nama kesejahteraan, kaum urban negeri ini telah rela berhijrah, meninggalkan kampung halaman dan nilai-nilai komunalnya. Demi mengejar mimpi mereka merantau ke negeri orang. Motif ekonomi adalah alasan klise mereka rela meninggalkan budaya leluhur nenek moyang. Mereka tidak peduli dengan masa depan komunitas mereka, budaya mereka, bahkan agama.
Maka tinggallah kampung yang sunyi, dihuni oleh sang tua renta, bocah ingusan, dan manusia yang tidak produktif. Masjid dan surau yang dulu semarak dengan lantun religi nan suci, kini tak ubahnya menjadi bangunan museum lapuk, penuh debu dan berbau. Tak ada lagi adzan merdu yang memanggil, tak ada lagi suara mengaji, karena kini suara merdu itu telah berganti suara parau kakek yang sudah tua renta. Kampung kini menjadi sepi. Anak-anak “santri” pun kini bubar entah kemana. Mereka mencari pelampiasan sendiri karena ditinggal oleh sang ustadz yang kini berlari mengejar mimpi pergi ke kota. Manusia urban itu telah tercerabut dari akar budaya dan kultur mereka
Fenomena di atas adalah gambaran para perantau dan kaum urban di negeri ini. Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa pertumbuhan urbanisasi di Indonesia saat ini adalah sebesar 4,1 persen. Menurutnya, dengan angka ini urbanisasi di Indonesia lebih tinggi daripada pertumbuhan urbanisasi di Tiongkok yang hanya sebesar 3,8 persen dan India 3,1 persen (Lihat: Tirto.id-Ekonomi). Hal ini terbukti di saat-saat mudik seperti ini, kota terasa sepi sedangkan kampung terasa ramai luar biasa.
Tanpa menafikan nilai positifnya, urbanisasi juga mewariskan dampak negatif yang perlu diantisipasi. Sesampai di negeri urban, serangan budaya asing kian tak tertahankan. Sesuatu yang dulu dianggap tabu dan haram dilakukan, kini segalanya menjadi permisif dan sah-sah saja dilakukan. Maka demi kepuasan, penampilan pun harus disesuikan dengan ala metropilitan. Sarung dan kopeah telah berganti celan jeans dan topi trendy ala tompi. Ke mana-mana tak pernah lepas membawa benda elektronik ajaib, HP android. Bersepatu mengkilaf di kaki, tiap hari senantiasa sibuk melayani calon pembeli. Jerat rutinitas itu makin asyik dinikmati, hingga tak ingat lagi sampai kapan ia harus kembali. Mereka telah tersesat jauh dalam keterasingan (alienasi). Secara perlahan tapi pasti kaum urban semakin terasing dari nilai-nilai kultural yang selama ini dianutnya dan diwariskan secara turun temurun.
Para pakar seperti James A. Naismith dan feter abordon mengistilahkan fenomena di atas dengan “kerisis manusia modern” yang semakin terasing dari jati dirinya akibat folusi materielis-kavitalis yang diwariskan modernisme. Globalisasi yang cenderung mengedepankan faktor produksi dan pemasaran menjadikan kehidupan manusia serba diatur oleh mesin-mesin produksi dan komputer. Pada kondisi ini manusia hanya bersikap pasif diberi dan diarahkan mesin. Maka kepekaan jiwa akan mati, rasa sosial akan hilang, kepercayaan pada niai-nilai luhur yang dipegang teguh pun akan luntur, bahkan mati sama sekali. Puncaknya adalah rasa rindu kembali pada jati diri. Mereka kian haus kepada ajaran moral yang mampu menyirami kegersangan bathin. Futurolog Alvin Toffler dan Neisbith berpendapat dalam setiap perubahan sosial secara otomatis berdampak perbenturan berbagai pola hidup sosial masyarakat yang pada ujungnya akan menimbulkan banyak krisis di setiap sektor kehidupan. Manusia modern telah terjerat keterasingan dari nilai-nilai agama dan komunal. Semakin lama akan semakin jauh “tersesat”. Dalam istilah Erich Fromm, di bukunya, Lari dari Kebebasan, ia akan semakin bingung, resah dan ambigu. Keresahan yang membuncah karena dikejar rasa bersalah telah “menghianati” nilai-nilai leluhur mereka. Nilai-nilai komunal dan agama.
Maka ketika moment Iedul Fitri menyapa, kerinduan akan kampung halaman terasa semakin mendalam. Rasa kangen pada tiap jengkal persahabatan dan keakraban semakin menjadi. Dan tradisi mudik lebaran menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Jika tidak mudik lebaran maka serasa “berdosa” kepada kampung halaman. Mudik telah menjadi penebus dosa bagi para perantau yang sudah jauh meninggalkan akar-akar komunal kampung halamannya.
Karenanya setinggi-tinggi bangau terbang, ia akan pulang ke pelimbahan jua. Sejauh apapun seorang urban merantau di negeri orang, suatu saat ia akan kembali jua. Kampung halaman tempat kelahiran tak kan pernah terlupa. Ia tak kan pernah tergantikan oleh apapun.
Fenomena mudik kaum urban sesungguhnya telah mengajarkan kita pelajaran, bahwa kehidupan dunia ini sementara. Manusia di dunia ini sejatinya harus merasa diperantauan. Laiknya seorang perantau ia akan mengumpulkan banyak bekal untuk nanti dibawa pulang ke keluarga di kampung halaman. Jika seorang perantau mudik lalu tidak membawa oleh-oleh, maka betapa malunya ia di hadapan keluarga di kampung halaman. Maka begitu pula dengan manusia, suatu saat nanti manusia akan kembali kepada Sang Kholik. Suatu saat manusia akan mati dan disitulah akan ditanya oleh-oleh apa yang ia bawa dari negeri rantau. Betapa malu dan meruginya jika manusia pulang ke akhirat tanpa membawa bekal apapun jua. Saat itu tak ada lagi tempat mengadu dan mencari pertolongan diri.
Jauh sebelum para fakar dan futurolog itu berpendapat, Al-Quran dalam banyak ayatnya bahkan telah memberikan sinyalemen bahwa fenomena kenikmatan duniawi ini sebetulnya fotamorgana. Salah satunya adalah QS. Al- Hadid: 20; Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurau, perhiasan, dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian (akhirnya) akan hancur. Kehidupan yang menipu yang hanya membawa pelakunya teralienasi dari jati diri.
Dalam pepatah Arab dikatakan “Innamal hayatu taabun”, kehidupan dunia memang melelahkan. Setiap hari kita terjerat rutinitas. Bangun tidur, berangkat kerja, pulang lagi ke rumah, tidur, lalu bangaun lagi, begitu seterusnya. Hidup ini serasa monoton dan membosankan jika hanya terpasung siklus aktivitas dan tak menghasilkan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang abadi yang kan dibawa mati.
Bahkan gejala materialime kini kian merajalela. Bagai sebuah robot, kita harus tunduk melayani sistem materialis yang semua diukur dengan seberapa banyak uang dan materi yang kita punya. Demi itu semua kita harus rela melepaskan kepribadian dan terseret terbawa arus deras kehidupan. Maka saat itulah kita harus secepatnya “mudik” kepada ajaran yang hakiki tentang kehidupan ini.
Tradisi mudik dan saling memaafkan memang bisa menjadi sumber inspiratif. Tradisi mudik juga mengajarkan kepada setiap pribadi yang sudah jauh melampaui batas dan mendholimi diri sendiri untuk segera “mudik” kembali kepada ketaatan. Maka mari kita mudik, kembali kepada nilai-nilai ilahi seperti dulu kita pernah menjadi fitrah, ketika diri ini baru terlahir dari rahim sang ibu. Selamat merayakan hari raya iedul fitri. Kembali kepada kefitrahan. Semoga!
Oleh : Dr. KH. Aminuddin, S.H.I., MA. (Ketua PC NU Kabupaten Kuningan) dan H. Muhamad Jaenudin, S.Ag. MH.