KUNINGAN (MASS) – Beberapa hari yang lalu, dimuat sebuah tulisan tentang moderasi beragama yang digulirkan oleh Kementerian Agama, bahwa ia adalah racun sekularisme. Pada tulisan ini kami sedikit memberikan penjelasan tentang konsep moderasi beragama yang sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut dan menyebar di tengah masyarakat.
Moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertidak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.
Baca sebelumnya : https://kuninganmass.com/moderasi-beragama-racun-sekulerisme/
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Misalnya seseorang menyantap makanan atau mereguk minuman yang jelas-jelas haram menurut ajaran agamanya hanya karena alasan toleransi kepada umat agama lain atau merusak rumah ibadah karena tidak setuju paham keagamaannya. Sikap ekstrem lainnya adalah mengikuti ritual pokok ibadah agama lain karena alasan tenggang rasa.
Ini semua tidak bisa dibenarkan. Bersikap moderat cukup dengan menghormati orang lain dan tidak mengganggu satu sama lain. Ia sendiri harus mantap dengan kepercayaannya, tidak perlu menggadaikan keyakinan!
Orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan akal/nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks.
Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia.
Dalam aplikasinya, masyarakat seringkali keliru dalam memahami antara moderasi beragama, beberapa memahaminya dengan moderasi agama. Tentu keduanya amatlah berbeda, agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi, melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem.
Misalnya, ajaran agama untuk memuliakan perempuan. Ajaran ini bersifat pasti dan tidak ada yang memperdebatkan, itulah ajaran agama. Tapi, bagaimana cara memuliakan perempuan menurut ajaran agama itu, masing-masing umat beragama melakukan praktik yang berbeda-beda. Itulah yang disebut beragama.
Contoh yang mudah terlihat misalnya ada paham dan amalan agama yang ekstrem membatasi aktivitas sosial perempuan, seperti larangan keluar rumah bagi perempuan meski untuk menuntut ilmu. Namun, ada juga paham dan amalan agama yang memberi ruang kebebasan ekstrem bagi perempuan untuk beraktifitas sosial sehingga menyepelekan tanggung jawab mengurus keluarga.
Di antara keduanya itu, ada juga paham dan amalan agama yang cenderung moderat, dengan memberikan hak-hak kesetaraan gender kepada perempuan, tetapi tetap membatasinya dengan etika dan adat istiadat lokal yang berlaku.
Apakah berarti orang yang moderat tidak teguh dalam beragama? Tentu saja tidak demikian. Seorang yang moderat juga harus memiliki pendirian teguh dan semangat beragama yang tinggi. Namun, ia harus mampu memilah mana pokok ajaran agama, di mana ia harus berpendirian teguh, dan mana tafsir ajaran agama, di mana ia perlu toleran, menghormati pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan.
Terkait urusan pokok agama, tidak boleh ada kompromi dalam hal meyakini dan mempraktikkannya. Tapi untuk urusan agama yang sifat hukumnya diperdebatkan, dan ada beragam pandangan, seorang moderat akan mengambil sikap hukum tertentu untuk dirinya, tapi tidak memaksakan hukum itu berlaku untuk orang lain. Itulah makna toleran.
Untuk bisa memilah mana wilayah pokok agama yang harus dibela secara teguh, dan mana wilayah tafsir ajaran agama yang terbuka untuk berbeda, seorang umat beragama harus mempelajari ajaran agamanya dengan baik dan secara mendalam. Ia harus mencari ilmu melalui guru atau sumber yang tepercaya.
Selanjutnya, bagaimana cara membedakan pokok agama & tafsir agama? Sikap moderat dalam beragama akan lebih mudah diterapkan jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang baik dan memadai. Pengetahuan luas akan menghantarkannya menjadi orang yang bijaksana. Berpengetahuan itu penting karena untuk dapat berdiri di tengah, seorang yang moderat perlu tahu tafsir agama yang ada di ujung ekstrem kiri dan ujung ekstrem kanan.
Sikap hanya melihat kebenaran satu tafsir agama dan buta terhadap kebenaran tafsir lainnya dapat menjerumuskan seseorang pada sikap ekstrem dan cenderung mengklaim kebenaran menurut versi dirinya saja. Pendek kata, untuk moderat, seseorang perlu berilmu.
Selain berilmu, seorang yang moderat juga harus mampu mengendalikan emosi, berakhlak baik, pemaaf, menjadi teladan, dan sanggup berempati. Dalam menyikapi masalah keagamaan, ia harus mampu mendahulukan rasa daripada emosi, dan harus mengedepankan akal ketimbang otot. Moderasi beragama harus dibarengi dengan sikap berbudi.
Dengan begitu, maka seorang yang moderat dalam beragama akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, melirik ke kiri dan ke kanan, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melainkan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat. Alhasil, moderasi beragama dapat diwujudkan jika seseorang telah memenuhi syarat berilmu, berbudi, pemaaf, bijaksana dan berhati-hati.
Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, dan bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi.
Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang justru merusak peradaban, sebab sejak diturunkan, agama pada hakikatnya ditujukan untuk membangun peradaban itu sendiri.
Moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam merawat Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat beragam, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk merawat jati diri kita tersebut.
Tegaknya moderasi beragama perlu dikawal bersama, baik oleh orang perorang maupun lembaga, baik masyarakat maupun negara. Kelompok beragama yang moderat harus lantang bersuara dan tidak lagi memilih menjadi mayoritas yang diam. Bahkan, keterlibatan perempuan juga akan sangat penting dalam upaya memperkuat moderasi beragama, mengingat kekerasan atas nama agama bisa saja dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Setiap komponen bangsa harus yakin bahwa Indonesia memiliki modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama.
Modal sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan keragaman adat istiadat, tradisi bermusyawarah, serta budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun. Modal sosial itu harus kita rawat, demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan agama. Jika dipikul bersama, Indonesia dapat menjadi inspirasi dunia dalam mempraktikkan moderasi beragama.
Dalam rangka menciptakan masyarakat yang moderat dalam beragama, negara perlu hadir memfasilitasi terciptanya ruang publik untuk menciptakan interaksi umat beragama. Jangan sampai negara malah melahirkan regulasi dengan sentiment agama tertentu yang diskriminatif, dan diberlakukan secara umum di ruang publik. Kehadiran negara harus memfasilitasi, bukan mendiskriminasi.
Penulis : Hidayat Muttaqin (Penyuluh Agama Islam)