KUNINGAN (MASS) – Pemilihan umum presiden (Pilpres) merupakan sarana dalam proses demokrasi untuk mendapatkan pemimpin negara yang didapatkan dari perolehan suara aspirasi rakyat dan mempunyai legitimasi berdasarkan konstituisonal. Hasil Pilpres akan melahirkan kepuasan bagi yang menang dan ketidakpuasan bagi yang kalah. Hal ini menjadi suatu konflik elektoral yang harus segera diminimalisir, supaya konflik ini tidak berkepanjangan, berdampak luas serta dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Konflik elektoral dikatakan oleh Abdul Ghofur Direktur Rumah Bebas Konflik Pemilu (RUBIK) bahwa “Konflik elektoral bisa terjadi antara penyelenggara dan peserta pemilu, serta masyarakat. Konflik elektoral adalah pertentangan, perseturuan dan sengketa yang terjadi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, masyarakat, dan pihak-pihak lainnya dalam suatu perebutan kekuasaan melalui proses pemilihan atau penyelenggara pemilu,” (www.nasional.kompas.com)
Konflik elektoral pasca pemungutan suara dan pengumuman hasil rekapitulasi suara calon presiden (capres) itu mencakup sengketa hasil pilpres, diduga adanya kecurangan pemungutan suara di TPS dan hasil perolehan suara, adanya intimadasi pemilih, dan kekerasan anarkisme massa pendukung, serta bentrok fisik antar massa pendukung.
Begitu juga dengan maraknya hoaks (berita bohong) yang menyerang kedua paslon, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, adanya kepercayaan diri para pendukung dari kedua capres yang tinggi untuk menang yang terwujud dalam bentuk narasi-narasi yang mendelegitimasi pemilu dalam hal faktor sosial politik dan mobilisasi massa menjadi faktor yang dominan dalam konflik elektoral, yang akan melahirkan potensi yang menjadi masalah/konflik jika pasangan capres yang mereka idolakan kalah dan akan menganggap hasil pemilu itu curang.
Berdasarkan hasil Rekapitulasi Nasional Pilpres 2019 dari KPU, Capres nomor 01 yaitu Joko Widodo–Ma’ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50% dan Capres nomor 02 yaitu Prabowo Subianto–Sandiaga Salahuddin Uno memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50%. Maka yang menjadi pemenang dalam Pilpres ini dimenangkan oleh Capres nomor 01.
Oleh karena itu, bagi Capres yang kalah merasakan suatu ketidakpuasan dan menganggap adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres. Capres nomor 02 mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperoleh keadilan sebagai suatu proses gugatan secara konstitusional dari hasil pelaksanaan Pilpres tahun 2019.
Hasil putusan MK terhadap dalil-dalil gugatan Capres nomor 02 menyatakan bahwa MK menolak permohonan Capres Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno dengan pertimbangan : 1). Ajakan berbaju putih ke TPS tak terkait perolehan suara; 2). Tak ditemukan bukti ketidaknetralan aparatur negara; 3). Tak berwenang adili dugaan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif; 4). Tak ditemukan bukti tudingan 02 sebut polisi bentuk Buzzer menangkan 01; 5). Tak ada relevansi kedekatan Kepala BIN dan PDIP pengaruhi Pemilu; 6). Tudingan Jokowi-Ma’ruf Amin bermain money politics di Pilpres 2019 tak terbukti; 7). Dugaan surat suara tercoblos tak pengaruhi suara karena tak dihitung; 8). Tautan berita tak bisa buktikan ketidaknetralan aparat; 9). Dalil TPS siluman tak berdasar menurut hukum; dan 10). Dalil perolehan suara Prabowo-Sandiaga unggul dari Jokowi-Ma’ruf tak lengkap dan tak jelas buktinya.
Berdasarkan, fenomena konflik elektoral di atas, perlu suatu solusi yang terbaik, yang bertujuan untuk menjaga keadaan negara dan sistem politik, ekonomi negara dan kepercayaan dunia internasional, pasca Pilpres 2019. Adapun faktor-faktor penyebab konflik elektoral adalah : perbedaan tujuan dan kepentingan; perbedaan cara pandang; perbedaan pemahaman; dan perbedaan kepribadian.
Sebelumnya, mengenai konflik yang terjadi secara teoritis terdapat dua konflik, yaitu konflik positif dan konflik negatif. Konflik positif adalah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik yang ada dan yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Sedangkan, konflik negatif adalah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat cara-cara nonkonstitusional seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi. (Paul Conn dalam Surbakti 1992: 153)
Adapun tujuan dari setiap adanya konflik berdasarkan pendapat dari Ramlan Surbakti (1992: 155-156), yaitu: 1). Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan sumber-sumberdaya yang tak dimilikinya; dan 2). Disatu pihak hendak mendapatkan, sedangkan dipihak lain berupaya keras mempertahankan apa yang telah dimilikinya.
Ada beberapa solusi yang dapat menimimalisir konflik pasca Pilpres dalam menjaga stabiliitas negara dan sistem politik yaitu pertama, menurut pendapat dari peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan bahwa, untuk meminimalisasi konflik elektoral, KPU dan Bawaslu harus meningkatkan kepecayaan publik terhadap proses pemilu. (www.nasional.kompas.com).
Kedua, pemerintah dan lembaga penyelenggaraan dan pengawas Pemilu menunjukkan sikap netralitas sesuai dengan teori, konstitusional dan fakta-fakta di lapangan, yang akan menurunkan tensi negatif kepada masyarakat atau pemilih Capres yang kalah. Ketiga, menunjukkan kesamaan dalam menyelesaikan konflik secara bersama-sama dari semua pihak yang terkait dengan Pilpres.
Keempat, andil dan peran media masa dalam pemberitaan yang secara proporsional, adil, berimbang dan berdasarkan fakta yang sesuai dimasyarakat tentang mencegah konflik dan mendamaikan pasca elektoral Pilpres sebagai penerang dan penenang yang oleh orang-orang/jurnalis yang kompeten dan berpegang pada kode etik jurnalisme.
Kelima, pihak-pihak yang terkait mampu melakukan manajemen konflik yang sedang terjadi dan untuk ke depannya yang bertujuan memberikan kedamaian di masyarakat.
Terakhir, adanya niat baik dari pihak-pihak yang berkompetisi dan elit-elit politik, dalam mengajak, mengarahkan dan memberikan kesamaan pemahaman kepada para pendukung dan masyarakat, dalam memberikan pernyataan-pernyataan positif yang mengarah kepada pemahaman, kepentingan dan tujuan bersama dalam menjaga persatuan dan kesatuan.***
Penulis: Cecep Nana Nasuha
Dosen UNISA Kuningan