KUNINGAN (MASS) – Penyakit kusta bukan kutukan, penderitanya tak perlu diisolir. Pernyataan itulah yang disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan NLR Indonesia Asken Sinaga, Senin (27/3/2023) pagi ini.
Penderita kusta, memang banyak mengalami stigma negative, entah itu dari dirinya sendiri, dari masyarakat bahkan dari tenaga medis. Stigma negative itu, muncul dari ketidaktahuan secara komprehensif soal kusta.
Padahal, kata Asken Sinaga, kusta memang penyakit menular namun daya tularnya paling rendah. Bahkan, hanya dengan mengikuti pengobatan awal, daya tularnya hilang.
Hanya saja, gejala kusta ini banyak yang tidak terdeteksi karena gejalanya yang kadang menyerupai panu tapi kebas terhadap rasa itu, banyak diabaikan. Kusta, kadang baru terdeteksi setelah cukup parah,
Paparan-paparan tersebut, disampaikan Asken Sinaga sesaat setelah me-launching program Desa Sahabat Kusta (DESAKU) bersama Pemda Kabupaten Kuningan di Pendopo.
Nampak hadir dalam kegiatan launching yang berbarengan dengan Apel pagi itu, Bupati Kuningan H Acep Purnama SH MH, Sekda Dr H Dian Rahmat Yanuar, Kadinkes dr H Susi Lusianti MM, serta jajaran eselon II dan III.
“Peran NLR disini menggerakkan (program DESAKU). Harapannya, nanti kedepan bisa berjalan sendiri di dalam sistem Pemda,” kata Asken.
NLR, dalam peran itu akan meningkatkan kapasitas dan mempengaruhi semua pihak terkait untuk menekan, mendeteksi dini dan mendorong pengobatan kusta.
Apalagi, selama ini kasus kusta di Indonesia terbilang cukup stagnan setiap tahunnya tidak menurun. Meskipun, dalam proses eliminasinya sudah baik.
“Kusta bukan kutukan, tidak mudah menular. (Nanti kalo ditemukan) Orang terduga kusta, didorong ke Puskes. Kita mendorong sistemnya (deteksi dini seperti itu),” sebutnya.
Bukan tanpa alasan, penyembuhan Kusta ini harus banyak didorong dari tingkat terkecil. Pertama, stigma penderita itu sendiri yang tak mau memeriksa.
Kedua, stigma orang kesehatan yang kadang masih enggan dan takut terhadap kusta. Lalu, stigma lainnya kadang di stempel masyarakat yang menjauh dan berakibat penderita kusta mengasingkan diri.
Padahal, kata Asken, hasil penelitian menunjukkan dari 100 orang yang berada di lingkungan penderita kusta, tingkat penyebaran hanya ke 5 orang, sisanya tidak tertular.
Bahkan, dari 5 orang tertular, yang perlu penanganan dan butuh obat hanya dua. Sisanya sembuh sendiri. Kusta memang terbilang penyakit yang mudah disembuhkan, namun sering diabaikan.
Namun, tentu saja jika dibiarkan bisa menyerang kulit dan saraf. Meskipun, daya serangnya terhadap tubuh hingga menunjukkan gejala pun, cukup lama sejak pertama kali terinfeksi.
Dalam kesempatan itu, dihadirkan pula penderita kusta yang dalam pengobatan dan sudah sembuh. Keduanya berasal dari Kecamatan Cigugur dan Kecamatan Maleber.
Ditegaskan, kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Dalam kesempatan itu, Bupati juga tidak segan untuk bersalaman dengan kedua orang tersebut, memberikan dukungan dan semangat.
Sementara, Kadinkes dr Susi juga bersyukur Kabupaten Kuningan bisa menjadi salah satu yang ditunjuk untuk eradukasi atau penurunan kusta.
Program DESAKU sendiri, untuk saat ini ditargetkan pada 20 desa dari 9 kecamatan dengan 10 Puskesmas di dalamnya, selama 2-3 tahun kedepan.
“Tahun ini alhamdulillah ada NGO, NLR Indonesia menunjuk Kabupaten Kuningan untuk eradikasi atau penurunan Kusta di Kabupaten Kuningan,” kata Susi,
Dikatakannya, pada tahun 2015 sendiri eliminasi kusta di Kuningan sudah terlaksana. Hanya saja, kasus endemik pandemi ini terjadi di seluruh Nusantara, terutama jalur Pantura dan telah masuk ke Ciayumajakuning,
“Tahun in ada 2 Kabupaten, Kuningan dan Bekasi yang akan jadi pilot project. (Jika berhasil) program Desaku ini bisa diadposi secara nasional. Mohon dukungan dari semuanya,” pinta Susi. (eki)