KUNINGAN (MASS) – Kabupaten Kuningan, yang dikenal dengan keindahan alamnya, menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial yang kian terasa. Hal itu dikatakan oleh Muhammad Hilman Asysyegav, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kuningan (UMK).
Ia menyoroti akar permasalahan tersebut tidak terlepas dari status Kuningan sebagai salah satu kabupaten miskin, dengan catatan tunda bayar dan gagal bayar pada anggaran publik, serta bencana yang akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai wilayah.
āKesenjangan sosial yang terjadi di Kuningan dapat memicu kecemburuan sosial jika tidak segera ditangani. Hal ini bisa berujung pada ketidakstabilan sosial, karena masyarakat merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah maupun pihak-pihak yang lebih mampu,ā ungkap Hilman.
Ia menambahkan, kesenjangan tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Berdasarkan data, alokasi anggaran untuk pembangunan sering terhambat oleh tunda bayar dan gagal bayar, yang semakin memperburuk situasi.
Hilman mengingatkan, pemerintah wajib memperbaiki tata kelola anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, āAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.ā
Dari sisi hukum, Hilman juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang menyatakan pemerintah wajib memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat miskin, termasuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
āBencana yang sering terjadi di berbagai wilayah Kuningan menjadi bukti bahwa perlunya peningkatan mitigasi dan respons cepat dari pemerintah. Selain itu, pengelolaan dana bantuan harus diawasi agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat,ā jelasnya.
Hilman juga menyoroti kasus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kuningan yang sempat viral hingga menjadi headline media nasional. Kasus tersebut memicu berbagai reaksi, mulai dari hujatan, pembelaan, hingga diskriminasi yang tampak memperkuat kesan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
āPadahal, jika salah ya salah, mengapa harus mencari pembenaran? Penting untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Selain itu, seseorang tidak akan meminta maaf jika ia tidak melakukan kesalahan,ā tegas Hilman.
Ia menilai, perdebatan tersebut mencerminkan adanya ketimpangan pemahaman etika dan keadilan di masyarakat. Hilman juga menyoroti, kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat menjadi penghambat pembangunan berkelanjutan di Kuningan. Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam menciptakan kebijakan yang lebih inklusif.
āKita harus bergerak bersama, baik dari pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat, untuk menekan kesenjangan sosial ini. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan Kuningan yang adil dan makmur,ā ujarnya.
Sebagai penutup, Hilman mengingatkan bahwa keadilan sosial adalah tanggung jawab bersama. Ia mengutip Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, āBumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,ā tutupnya. (argi)