Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass
Ikhsan Marzuki (dok. ikhsan)

Ragam

Klaim Penghijauan Ciremai, Ikhsan Tunjukkan Fakta: Hasil Studi BRIN Lebih dari 50 Persen Kawasan TNGC Telah Terdegradasi

KUNINGAN (MASS) – Di tengah ramainya klaim keberhasilan penghijauan di kawasan Gunung Ciremai, muncul suara kritis yang menolak larut dalam euforia. Ikhsan Marzuki, pegiat sosial sekaligus Inisiator Gerakan KITA, menilai ramainya narasi publik soal keberhasilan menata ulang kawasan Ciremai justru sarat dengan kesalahan berpikir dan manipulasi persepsi.

“Mengambil sebagian kecil contoh untuk menyimpulkan keseluruhan adalah bentuk kesalahan berpikir. Klaim seperti itu bukan hanya menyesatkan, tapi juga mengaburkan fakta ekologis yang lebih besar,” tegas Ikhsan, Rabu (17/12/2025).

Menurutnya, salah satu bentuk kekeliruan berpikir yang kini ramai disuarakan adalah klaim bahwa kawasan Ciremai yang dahulu gundul kini telah hijau kembali berkat program rehabilitasi dan penataan dalam sepuluh tahun terakhir. “Itu tidak sepenuhnya benar,” ujarnya tegas.

Ia menjelaskan, daerah seperti Palutungan di Kecamatan Cigugur sejak dulu merupakan sentra sayuran. Wajar kalau memiliki hamparan tanpa pepohonan karena memang digunakan untuk ladang dan atau perkebunan yang memerlukan terpaan sinar matahari.

Memang ada upaya reboisasi di sejumlah lahan bekas ladang dan perkebunan, namun kata Ihsan, yang terjadi justru paradoks: di saat narasi penghijauan digaungkan, justru semakin banyak area hijau beralih fungsi menjadi kawasan wisata modern dan bangunan komersial.

Fakta ini, kata Ihsan, diperkuat dengan hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang menegaskan bahwa Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk salah satu kawasan konservasi dengan tingkat degradasi tinggi akibat alih fungsi lahan dan kebakaran hutan (Gunawan & Subiandono, 2013). Bahkan, studi lanjutan menunjukkan lebih dari 50 persen kawasan taman nasional tersebut telah terdegradasi dan memerlukan restorasi ekosistem (Gunawan & Subiandono, 2014).

Restorasi, lanjut Ikhsan, bukan sekadar menanam pohon, melainkan proses panjang untuk memulihkan fungsi ekologis, keanekaragaman hayati, dan sistem penyangga kehidupan — hal yang belum sepenuhnya berjalan di Ciremai.

Sebagian pihak mencoba berkilah bahwa maraknya pembagunan di wilayah kaki Gunung Ciremai tersebut tidak berada di dalam kawasan TNGC, melainkan di atas lahan pribadi. Menanggapi hal itu, Ikhsan menegaskan bahwa persoalannya bukan sekadar soal status kepemilikan lahan, tetapi daya dukung ekologis kawasan secara keseluruhan.

Ikhsan juga menjelaskan, klaim keberhasilan penghijauan yang disertai bukti citra satelit justru sebaliknya menggambarkan adanya transformasi besar-besaran alih fungsi lahan dari hamparan perkebunan dan pertanian menjadi kawasan wisata buatan.

Karena itu, Ikhsan menegaskan agar tidak ada pihak yang menggiring opini publik dengan narasi sepihak. “Bumi punya mekanisme menata dirinya sendiri — gunung meletus, hutan terbakar, sungai meluap — semua bagian dari siklus regenerasi alam. Tapi kerusakan akibat tangan manusia tidak bisa disembuhkan oleh bumi,” katanya reflektif.

Ia menegaskan, masalah sesungguhnya bukan pada bencana alam, melainkan pada bencana moral manusia yang abai terhadap keseimbangan ekologis. Alam punya ritme tumbuh dan pulih, tetapi sistem ekonomi modern — yang mengdepankan produksi dan eksploitasi — justru memutus ritme itu.

“Ketika hutan ditebang lebih cepat dari waktu tumbuhnya, ketika air tidak lagi terserap karena lahan berubah fungsi, ketika masyarakat di kaki gunung justru kesulitan air, di sanalah bumi kehilangan kemampuan menyembuhkan dirinya,” ujar Ikhsan.

Fenomena itu nyata di Cigugur, wilayah yang berada tepat di kaki Gunung Ciremai. Masyarakat Cigugur yang hidup di kawasan dengan puluhan titik sumber air yang menjadi penyangga kehidupan Kabupaten Kuningan, kini justru seringkali kekeringan. “Ibarat ayam mati di lumbung padi,” kata Ikhsan lirih.

Dalam pandangannya, selain ikhtiar menyelamatkan bumi, saat ini tugas manusia yang jauh lebih penting adalah menyelamatkan kemanusiaannya sendiri dari kesombongan dan kebutaan. “Bumi akan terus ada. Yang terancam punah adalah cara kita hidup di atasnya,” tuturnya.

“Kini, di kaki Ciremai yang mulai kehilangan keseimbangan, peringatan itu seharusnya menggema lebih keras. Bukan lagi waktu untuk menebar falasi hijau dan menutupi dosa ekologis, tapi saatnya jujur menghadapi kenyataan bahwa bumi sedang memberi tanda peringatan terakhirnya,” imbuhnya di akhir. (eki)

Advertisement
Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement

You May Also Like