KUNINGAN (MASS) – Indeks membaca masyarakat Indonesia rupanya berada di angka cukup memprihatinkan. Ketua Komisi Pendataan dan Riset Dewan Pers, Ahmad Djauhar menyebutkan, angkanya kurang dari 9%.
“Pembaca aktif di Indonesia itu kurang dari 9%, sedangkan negara lain berada dikisaran 60%. Di kita keseringan hanya membaca judul berita saja, langsung dikomentari, yang membuat salah paham,” papar Djauhar.
Ketimbang membaca, imbuhnya, masyarakat Indonesia lebih suka menonton video semisal youtube. Padahal, dalam membaca terdapat proses pengasahan daya pikir, nalar terdeduksi dan mempertajam analisis.
“Nonton itu searah, kecenderungan langsung ditelan, gak sempat mikir. Itu kekurangannya. Lain dengan membaca, punya kelebihan dari sisi (pengasahan, red) daya pikir,” ujarnya.
Rendahnya indeks membaca berdampak pada berkah iklan. Di Cina, India dan beberapa negara lain, pendapatan yang diperoleh dari iklan begitu besar.
“Bangsa yang besar itu biasanya indeks membacanya tinggi,” ucap Djauhar.
Kaitan dengan belanja iklan ini, Djauhar mengaku, kecenderungannya sekarang masuk ke online. Angkanya mencapai $1 miliar atau lebih dari Rp15 triliun.
Sayangnya, pendapatan tersebut hanya sedikit yang masuk media online/portal berita. Tapi kebanyakan masuk ke media sosial semacam Youtube, Facebook, Instagram dan medsos lainnya.
Ada 47 ribu Media Massa, Dominan Media Online
Ahmad Djauhar menyebut jumlah media massa se Indonesia sebanyak 47 ribu media. Dari angka sebanyak itu didominasi oleh media online (siber) yang mencapai 43.500 media. Hanya saja, media yang sudah terverifikasi tidak lebih dari 10 ribu.
Jumlah media radio, yang dulu hanya kisaran 750an sekarang terdapat 3000an radio. Sedangkan media televisi kini mencapai 394 dari sebelumnya dulu yang hanya 6 TV.
Dirinya mengakui saat ini media-media mainstream mulai beralih ke online. Namun Djauhar mengingatkan mereka untuk tetap mengusung semangat jurnalisme. Setiap informasi mesti diverifikasi kebenarannya.
Tidak sedikit dari media mainstream sekarang ini yang mengandalkan media sosial (medsos) sebagai sumber informasi. Bahkan hasil riset, 85% inspirasi berita dari medsos.
“Kalau dulu mencari berita itu menggali informasi sendiri. Sekarang sih banyak yang merujuk ke medsos. Terkadang tinggal kloning, enak banget. Tapi ya itu iklannya makin gak ada,” ungkapnya.
Kepada para pelaku jurnalistik, Djauhar mengimbau untuk kembali ke kehidupan nyata. Semangat jurnalisme yang mengedepankan cek and ricek harus tetap dilakukan, bukan malah ikut-ikutan jadi penyebar hoax.
“Mari kembali ke kehidupan nyata, jadikan media sebagai problem solver,” seru Djauhar kepada puluhan wartawan dalam Workshop Peliputan Pasca Pileg dan Pilpres 2019 yang diselenggarakan Dewan Pers di Hotel Aston Cirebon, Jumat (18/10/2019). (deden)