KUNINGAN (MASS) – Setelah UU Pemilu dicabut dari Prolegnas Tahun 2021 melalui mekanisme Rapat Kerja antara Baleg DPR RI, Kemenkumham RI, dan PPUU DPR RI tanggal 9 Maret 2021, tahapan pemilihan serentak akan dijumpai pada tahun 2024, baik Pemilu maupun Pilkada.
Menyikapi hal itu, ketua Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kuningan Zaka Vikryan mengingatkan sekaligus memperingatkan, bercermin dari pemilu serentak 2019 lalu.
“Kita bisa bercermin bagaimana Pemilu tahun 2019 yang memuat beberapa jenis pemilihan sekaligus. Ada Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD,” sebutnya.
Sepintas hal tersebut efektif dan efisien, karena pelaksanaannya dalam satu waktu dalam satu kondisi. Namun bagaimana dengan kualitasnya? Bagaimana keterserapan informasi dari caleg kepada pemilih.
Lebih lanjut, pada kuninganmass.com Zaka menerangkan dengan digelarnya ragam pemilihan di satu sisi terlihat bagus, tapi di sisi lain kiranya banyak yang kurang optimal.
“Pemilih kebingungan. Membuka beberapa lembar surat suara di balik bilik TPS. Melihat deretan nama-nama yang belum dikenal. Jika pun sudah kenal, pemilih agak kesulitan mencari namanya. Kolom yang mana, nomor berapa, dari partai apa,” terang Zaka.
Menurutnya, kondisi tersebut lebih-lebih dirasakan oleh pemilih yang telah berusia lanjut.
Bahkan, Jangankan yang sudah lanjut, pemilih pemula atau pemilih dewasa saja, disebutnya pada pelaksanaanya sebelumnya cukup dibingungkan dengan beberapa lembar surat suara dan mesti dicoblos di TPS.
Menurutnya, karena kesulitan itulah pendidikan politik bisa jadi jawaban.
Dikaatakan, pendidikan politik itu bukan cuman beban KPU sebagai penyelenggara teknis atau Bawaslu sebagai lembaga pengawasan, dan juga bukan cuman tugas caleg saat kampanye belaka atau NGO Kepemiluan dan akademisi saja.
Partai politik pun telah ditugaskan oleh Undang-Undang melakukan pendidikan politik. Sebagaimana Pasal 11 Ayat (1) Huruf (a) UU Nomor 2 Tahun 2008 Partai Politik diwajibkan memberikan Pendidikan Politik kepada masyarakat.
Pemilihan yang diadakan serentak dalam satu waktu pun mengakibatkan tidak optimalnya transfer knowledge visi misi dan isi kepala para kandidat kepada pemilih.
Meski banyak hal yang memungkinkan seseorang memilih calon, tapi tentu yang terbaik adalah pemikiran si calon.
Terakhir Zaka menyampaikan, dengan kondisi demikian, dirinya mendorong agar partai politik maupun yang berkeinginan duduk di legislatif mulai sekarang penjajakan kepada masyarakat.
“Jangan sampai masyarakat menjadi objek eksploitasi ritual demokrasi belaka perlima-tahunan.”
Dikatakan, kurang elok juga jika masyarakat dicekoki dengan uang atau barang, sebagai calon pemimpin tentunya harus memberi suri tauladan yang baik bagi masyarakat.
Dekatlah dengan masyarakat (semua kalangan) tanpa kecuali, berdialoglah dengan mereka, ajak mereka berpikir dan mengawal laju pemerintahan daerah.
“Kesadaran politik harus diimbangi dengan pengetahuan dan akhlak politik agar demokrasi sungguh-sungguh berkualitas dan berintegritas”, pungkasnya. (Eki)