KUNINGAN (MASS) – Jika pencopotan Penjabat (PJ) Bupati Kuningan benar-benar disebabkan oleh surat permintaan dari tiga partai politik yang berkuasa, ini merupakan bentuk intervensi politik yang mengkhawatirkan dalam pemerintahan daerah.
Pada intinya, pengangkatan atau pemberhentian pejabat publik seharusnya didasarkan pada prinsip profesionalisme dan kepentingan rakyat, bukan didikte oleh tekanan partai atau kepentingan politik yang tidak selaras dengan harapan masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, ketiga partai politik tersebut, yang berperan dalam pemerintahan dan mendominasi proses pengambilan keputusan di Kuningan, harus memberikan klarifikasi yang jelas dan terbuka kepada masyarakat mengenai alasan di balik tuntutan mereka untuk mencopot Iip Hidayat dari jabatan PJ Bupati Kuningan.
Ketidakjelasan motivasi ini hanya akan menambah keresahan dan kebingungan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa aspirasi mereka seakan-akan terabaikan dalam pusaran kekuasaan. Apakah alasan sebenarnya dari permintaan pencopotan ini berakar pada kinerja PJ Bupati yang dirasa kurang memadai, ataukah ada motif tersembunyi yang lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam parpol tersebut?
Publik Kuningan memiliki hak untuk mengetahui alasan di balik keputusan-keputusan penting yang berdampak pada kepemimpinan daerah mereka. Mengingat PJ Bupati bertugas mewakili pemerintah pusat dan melayani kebutuhan rakyat di daerah, sudah seharusnya setiap keputusan mengenai jabatannya dibuat berdasarkan kepentingan yang lebih luas, bukan kepentingan segelintir pihak.
Oleh karena itu, surat permintaan dari tiga partai ini bisa saja menjadi preseden yang mengkhawatirkan, di mana penunjukan atau pemberhentian pejabat daerah bergeser dari ranah objektivitas dan meritokrasi ke ranah politisasi.
Lebih jauh lagi, bila memang benar terjadi intervensi politik melalui surat tersebut, hal ini menyoroti masalah yang lebih luas dalam sistem demokrasi kita, di mana pengaruh politik menjadi terlalu kuat sehingga mengganggu proses administrasi publik yang netral.
Sementara demokrasi memberikan ruang bagi partai politik untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituennya, hal tersebut harus dilakukan secara terbuka, transparan, dan tidak mengganggu independensi pejabat publik yang memiliki tanggung jawab langsung kepada masyarakat, bukan kepada kelompok-kelompok kepentingan.
Penunjukan PJ Bupati seharusnya menjadi sebuah proses yang bersih dari intervensi politik. Apabila sebuah jabatan strategis seperti PJ Bupati diintervensi oleh partai politik yang dominan, dikhawatirkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pejabat tersebut nantinya tidak akan lagi mencerminkan kebutuhan masyarakat yang lebih luas, melainkan akan menjadi alat untuk memuluskan kepentingan politik partai atau kelompok tertentu.
Akibatnya, kepemimpinan daerah yang seharusnya independen dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat berubah menjadi perpanjangan tangan dari elite politik.
Kondisi ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua pihak, termasuk para pemimpin partai politik, bahwa posisi PJ Bupati merupakan posisi yang ditetapkan untuk mengemban tugas-tugas pemerintahan daerah dalam masa transisi, serta menjamin stabilitas dan keberlanjutan program-program pembangunan.
Intervensi dari pihak-pihak tertentu dalam penunjukan atau pencopotan pejabat ini hanya akan mengacaukan tugas-tugas tersebut dan menambah beban pemerintahan pusat yang harus melakukan koreksi terhadap praktik-praktik tidak sehat semacam ini.
Keharusan klarifikasi dari ketiga partai politik ini juga sangat penting karena publik berhak mengetahui pandangan atau justifikasi di balik langkah yang mereka ambil. Bila memang ada alasan-alasan yang substansial dan dapat diterima, tentu akan lebih mudah bagi masyarakat untuk memahami alasan partai-partai tersebut meminta pencopotan PJ Bupati.
Namun, jika justifikasi yang diberikan tidak memadai atau terkesan mengada-ada, ini akan semakin memperburuk persepsi publik terhadap partai politik tersebut dan meningkatkan ketidakpercayaan pada partai politik di tingkat lokal, yang pada gilirannya dapat merusak iklim demokrasi di daerah.
Selain itu, surat dari tiga partai tersebut telah memicu pandangan publik yang negatif, di mana banyak yang merasa bahwa parpol tidak selaras dengan aspirasi dan pandangan masyarakat di Kuningan.
Ketidaksesuaian antara pandangan masyarakat dan langkah yang diambil oleh partai politik ini menjadi alarm penting bagi partai politik untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan lebih memperhatikan harapan serta kebutuhan masyarakat ketimbang mementingkan agenda politik jangka pendek.
Dalam pandangan yang lebih luas, kasus ini menjadi refleksi bagi pemerintah pusat dan daerah mengenai perlunya membatasi dan mengendalikan intervensi politik dalam pemerintahan. Sebuah kebijakan yang baik adalah kebijakan yang didasarkan pada data, analisis, dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar berdasarkan permintaan dari partai politik atau kelompok-kelompok tertentu.
Dengan demikian, menjaga independensi pejabat publik seperti PJ Bupati dari tekanan politik adalah langkah penting untuk menciptakan pemerintahan yang adil, akuntabel, dan terpercaya di mata rakyat.
Terakhir, bagi ketiga partai tersebut, mengambil langkah untuk menyelesaikan isu ini secara transparan dapat memperbaiki citra mereka di mata masyarakat. Dalam konteks demokrasi yang sehat, partai politik bukan hanya berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasi politik tetapi juga memastikan bahwa setiap kebijakan yang mereka dorong selaras dengan kepentingan publik.
Membuat klarifikasi dan menjelaskan kepada publik tentang alasan pencopotan PJ Bupati Kuningan ini tidak hanya akan meredakan polemik, tetapi juga menjadi pembuktian bahwa partai politik tetap berpihak pada rakyat khususnya wargi kuningan.
Pada akhirnya, masyarakat berhak menuntut penjelasan terbuka dan masuk akal dari setiap tindakan yang berdampak pada wargi Kuningan Jawa Barat.***
Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Nasional, Putra Asli Kuningan)