KUNINGAN (MASS) – Jelang 100 hari semenjak pertama kali Covid 19 menghampiri Indonesia, kasus demi kasus warga yang terpapar positif tidak pernah bekurang. Bahkan hari ini (21/5), berdasar apa yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid 19, Achmad Yurianto, terdapat peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid 19 tertinggi dalam dua bulan terakhir yang mencapai 973 kasus baru, hingga saat ini tercatat sudah 20.162 masyarakat yang terpapar positif Covid 19, dengan tingkat kematian 6,339 persen dan kesembuhan 23,996 persen.
Pada 100 hari pertama di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pertama kali menjabat, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam kinerjanya, bersama dengan para menteri di kabinetnya, SBY mempublish hasil kinerjanya. Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban dirinya sebagai pemimpin bangsa ini serta menunjukan bahwa ia merupakan sosok yang tidak anti kritik.
Berangkat dari pengenalan evaluasi publik terhadap kebijakan pemerintah di 100 hari pertamanya, berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam hal penanganan Covid 19, akan meninjau seberapa berhasil terapan pemerintah dalam mencegah penyebaran Virus Corona yang saat ini sudah mewabah hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Untuk menyegarkan ingatan, awal masuknya Covid 19 dengan pasien kode 001 dan 002 asal Depok, berawal dari kepercayaan diri yang tinggi dari presiden dan jajarannya yang membuat kesan bahwa tidak percaya Corona virus akan masuk ditanah katulistiwa ini. Bahkan, candaan-candaan yang keluar dari para menteri terkesan menyepelekan dan berakhir dengan kegagapan pemerintah dalam menentukan pencegahan sebaran covid 19 itu.
Jauh sebelum dibentuknya gugus tugas penangan Covid 19 yang dibentuk pemerintah pusat, sempat terjadi perdebatan sengit antara Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dengan beberapa menteri kabinet Jokowi. Salah satunya saat Anies mengeluarkan kebijakan dengan membentuk Tim Tanggap Covid-19 dan memberlakukan pembatasan kegiatan di luar rumah, yang dianggap oleh Pemerintah pusat sebuah kebijakan yang berlebihan.
Seperti memukul air di tempayan, kebijakan Anies yang dianggap berlebihan oleh pemerintah pusat, akhirnya diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) – disusul dengan Keppres No. 9/2020 yang membahas mengenai beberapa perubahan struktural.
Melalui Keppres tersebut pula, Presiden Jokowi menyalurkan kewenangan pemberian izin edar dan impor alat kesehatan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas, yakni Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Kewenangan tersebut berbentuk mandat pemberian pengecualian perizinan tata niaga impor terkait alat kesehatan Covid-19. Kebijakan tersebut diberlakukan ketika ratusan orang sudah terjangkit Virus yang pertama kali muncul di Wuhan China.
Dianggap gagap dan terlambat dalam mencegah penyebaran Virus Corona, pada tanggal 12 Mei 2020, pemerintah bersama dengan DPR RI akhirnya mengesahkan Perppu No.1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang. Yang pada intinya sebagai aturan untuk menopang upaya diluar batas wajar sebagai langkah pemulihan ekonomi nasional bagi seluruh sektor yang terdampak.
Pilihan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah antisipatif, memiliki dampak besar pada kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Mengiringi terbitnya UU baru tersebut, didalam PP No.23 tahun 2020, mengatur tahapan awal untuk pemberian bantuan jaringan pengaman sosial, kesehatan, pengusaha UMKM dan dunia usaha lainnya.
Menjelang 100 hari sejak pertama kali munculnya kasus positif aktif warga terpapar Corona Virus, nyatanya nampak sekali kegagalan pemerintah dalam melakukan pencegahan. Banyak sekali kebijakan publik yang dibuat pemerintah diberi nilai merah oleh masyarakat terdampak. Dimulai dari ketidaktepatan data bantuan sosial sehingga menimbulkan kisruh ditengah masyarakat, hingga terakhir pernyataan Presiden yang meminta masyarakat berdamai dengan virus corona.
Pernyataan damai dengan corona oleh Presiden yang lantas diiringi dengan kebijakan pelonggaran atau relaksasi PSBB, dianggap sebagai langkah kontroversial. Pemerintah seolah meminta warganya dapat akrab dan bercanda dengan virus yang sangat reaktif itu. Dibukanya kembali bandara hingga menyebabkan kerumunan yang berlebihan, dibukanya kembali mall-mall, hingga Alih-alih untuk berdamai, 3 hari kebelakang nyatanya peningkatan warga yang terpapar positif aktif terus bertambah secara signifikan, puncaknya adalah kamis (21/5) yang hampir menembus angka 1000 orang dalam sehari.
Meskipun sangat dipahami, munculnya kebijakan relaksasi tersebut merupakan langkah pemerintah untuk menyelamatkan keuangan negara atau ekonomi oriented. Hingga pemerintah seolah memilih herb imunity sebagai langkah penyembuhan meski harus mengorbankan ribuan nyawa melayang, daripada kas negara terguncang karena harus membiayai makan rakyatnya.
Jelang 100 hari ini ternyata memang banyak sekali catatan kebijakan pemerintah yang harus dievaluasi dan patut dikritisi karena kebijakan tersebut dapat dianggap sebuah kegagalan. Kenaikan BPJS Kesehatan, fenomena kenaikan tarif daftar listrik, pengesahan UU Minerba, terapan PSBB yang tidak berjalan optimal, data korban covid 19 yang dianggap masih banyak yang ditutupi, penerbitan kartu Pra kerja yang terkesan dimonopoli dan dipaksakan, data bantuan yang tidak tepat sasaran.
H Mamat Robby Suganda, M.Ap
Ka.Biro Perdagangan DPP Demokrat