KUNINGAN (MASS) – Korban kekerasan retan mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik,psikis dan kerugian ekonomi social budaya,dan atau politik (kutipan:Huda). Bahaya kekerasan seksual dari segi fisik, psikis, dan social. Secara fisik korban akan mengalami keluhan rasa sakit dan memiliki kemungkinan mengidap penyakit seksual menular.
Secara psikis,umumnya mereka akan mengalami post- traumatic stress disorder (PTSD) dan kecemasan berlebih yang akan menggiring pada keinginan untuk menyakiti diri sendiri hingga unuh diri. Terakhir, secara sosial, korban jelas akan menerima stigma buruk dari masyarakat yang akan menyebabkan mereka menarik diri dari lingkungan sosial, sulit membangun relasi dengan lawan jenis, dan rasa tidak aman saat berada tempat ramai.
Darurat kekerasan seksual yang sedang terjadi saat ini tidak bisa hanya dimaknai dengan semakin tinggi dan ekstremnya angka kasus kekerasan seksual, tetapi justru kegagalan dalam penanganan kasus yang terjadi sehingga membuat korban makin merasa dihantam, tidak berdaya, dan kehilangan rasa aman. Masyarakat kita, yang terbelenggu dengan nilai-nilai patriarki, kerap melakukan manipulasi sosial seperti menyuruh korban menikah dengan pelaku sebagai solusi dari kekerasan seksual.
Kurangnya pengetahuan tentang isu kekerasan seksual juga membuat masyarakat sering menormalisasi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi. Yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan, baik secara moral maupun hukum. RUU TPKS adalah instrument hukum yang akan menjadi payung pelindung korban untuk mendapatkan keadilan. Meski dalam praktiknya, rancangan undang-undang ini tidak kunjung paripurna dan mengalami berbagai pro dan kontra.
Kejahatan kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga Pemerintah menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 2016 yang menerapkan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual diantaranya dengan memberlakukan kebiri secara kimiawi.
Penerapan kebiri secara kimiawi ini menimbulkan pro kontra di masyarakat terkait efektifitasnya dan pemberlakuannya yang dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam UUD 1945, Konvensi Internasional ICCPR dan CAT yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, terlepas dari adanya pro kontra tersebut, seyogianya Pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan peraturan pelaksananya agar aturan ini dapat diberlakukan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran guna mengurangi peningkatan jumlah kekerasan seksual dan timbulnya kejahatan yang berulang.
Pelanggaran hak asasi manusia terjadi pada semua subyek hukum termasuk perempuan dan anak dimana kelompaok ini merupakan subyek yang rentan khususnya kekerasan seksual, hal ini terlihat dari semakin meningkatnya kasus dan beragam jenis kekerasan yang terjadi. Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban, serta penindakan pelaku. Penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU ini adalah elaborasi dari kewajiban negara dalam mengurangi dan mpenegakan hukum persoalan yang terkait dengan kekerasan seksual yang sering dialami oleh perempuan dan anak. Dalam implementasinya, selain dengan Aparat Penegak Hukum negara wajib melibatkan keluarga, komunitas, organisasi masyarakat, lembaga pers dan korporasi.
Darurat kekerasan seksual yang sedang terjadi saat ini tidak bisa hanya dimaknai dengan semakin tinggi dan ekstremnya angka kasus kekerasan seksual, tetapi justru kegagalan dalam penanganan kasus yang terjadi sehingga membuat korban makin merasa dihantam, tidak berdaya, dan kehilangan rasa aman. Masyarakat kita, yang terbelenggu dengan nilai-nilai patriarki, kerap melakukan manipulasi sosial seperti menyuruh korban menikah dengan pelaku sebagai solusi dari kekerasan seksual.
Kurangnya pengetahuan tentang isu kekerasan seksual juga membuat masyarakat sering menormalisasi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi. Yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan, baik secara moral maupun hukum. RUU TPKS adalah instrumen hukum yang akan menjadi payung pelindung korban untuk mendapatkan keadilan. Meski dalam praktiknya, rancangan undang-undang ini tidak kunjung paripurna dan mengalami berbagai pro dan kontra.
Perkembangan zaman yang lebih canggih dan modern banyak menggeser dan menciptakan kebudayaan baru dalam tatanan setiap negara. Untuk sejumlah negara yang menganut kepercayaan tertentu, pergaulan bebas yang umumnya mengarah pada seks bebas adalah hal terlarang yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan. Tapi, untuk beberapa negara yang ada di belahan dunia lain, malah menganggap seks bebas adalah sesuatu hal yang wajar. Mereka menjadikan budaya sampai profesi pekerjaan seseorang untuk seks. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa sebetulnya bisnis prostitusi sudah menjamur di seluruh dunia.
Penulis : Syaharani Fitria Maulida (2281060035) Mahasiswi Biolgi A/2 – IAIN Syekh Nurjati Cirebon