KUNINGAN (MASS) – Bukan hanya Perda Toko Modern, Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) pun ternyata perlu dibedah. Khusus seruan untuk membedah Perda RTRW ini datang dari Pansus DPRD yang tengah menggodok Raperda RDTR (Rencana Detil Tata Ruang).
Sekretaris Pansus RDTR, Rudi O’ang Ramdhani SPdI mulanya keceplosan adanya indikasi pelanggaran perijinan. Meski menggunakan istilah pelanggaran dalam tanda kutip, namun akhirnya ia mau bicara kala ditanya awak media.
“Pelanggaran tanda kutip itu misalnya rencana pabrik pulpen di Jalan Baru Sampora dengan perusahaan bernama PT Asaba Zebra Industry. Kita pahami pengembang beli lahan di situ, membangun, datang ke pemda. Dasar perijinannya berarti Perda 26/2011 tentang RTRW,” jelasnya.
Dasar perijinan bukan RDTR lantaran perdanya belum ditetapkan. Ia menegaskan, hukum tidak berlaku surut. Sehingga ketika dasarnya RTRW, maka pemda pun tidak perlu gerabag-gerubug untuk segera menetapkan Raperda RDTR.
“Jadi untuk Raperda RDTR ini, tunggu dokumennya lengkap dan yakinkan kami di pansus. Ini mah dokumennya belum lengkap, dan kepala dinas selalu mendelegasikan,” ketus politisi PKS ini.
Muncul asumsi bahwa pendirian pabrik pulpen tersebut melanggar aturan karena diduga tidak ada peruntukan untuk industri. Namun Rudi tidak langsung memvonisnya. Dia lebih memilih untuk mengajak bedah Perda RTRW.
“Perusahaan tersebut sudah diijinkan. Luasnya hampir 6 hektar. Orang mengasumsikan ada pelanggaran perijinan. Pak wabup (Dede Sembada) juga paham persis. Tapi mari kita bedah Perda RTRW biar terang benderang,” serunya.
Rudi juga menyinggung perijinan KSB (Kuningan Super Block), RS dan perumahan di dekat Uniku Jl Windusengkahan. Menurutnya, ketiga bangunan ini belum berijin, baru ijin prinsip. Kaitan dengan LP2B (Perlindungan Lahan Berkelanjutan), Rudi tidak melihat adanya pelanggaran.
“Itu tanah privat. Sudah saya katakan LP2Bnya juga baru potensi, belum ditetapkan pemda. Antara pemda dengan pemilik tanah belum ada agreement jadi LP2B. SK atau perbupnya juga belum ada,” terangnya.
Menyoal mata air di wilayah rencana KSB, dia mengaku pansus sudah melakukan survey. Ternyata di situ mata airnya berdebit kecil yang hanya dikonsumsi sekitar 7 rumah. Namun ketika berbicara undang-undang, mata air berdebit kecil atau besar, tetap disebut mata air.
“Sehingga secara UU dalam jarak 200 meter tidak boleh ada bangunan permanen. Nah kebetulan dewan juga sekarang sedang menggodok raperda perlindungan mata air. Jadi sebetulnya ini bisa panjang,” kata Rudi.
Politisi asal Darma ini mengakui penegak perda adalah Satpol PP ketka terjadi pelanggaran. Namun secara yuridis formal, ketika rujukannya perda maka sanksinya tipiring 6 bulan dan denda Rp50 juta.
Menurutnya ketika terjadi pelanggaran perda maka akan merembet pada pelanggaran regulasi lainnya. Dicontohkan, adanya UU lingkungan hidup dan UU Tata Ruang, itu akan melekat pada perda. Penegaknya bukan lagi Satpol PP dengan perkara yang menurutnya masuk ranah pidana. (deden)