Tahun politik telah tiba. 2019 merupakan tahun tumpah ruah ide dan aksi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ide atau gagasan yang dituangkan dalam kebencian, cibiran, sanjungan, fanatisme sampai pada ideologi kata dan data akademik turut meramaikan nuansa hiruk pikuk pemilu 2019.
Publik, sebagain besar, seakan sangat memahami atas segala persoalan yang melanda negeri ini. Mulai masalah politik, ekonomi, sosil, budaya, hukum bahkan agama yang bersifat privasi pun turut dibahas dalam kacamata masing-masing, sesuai selera. Sehingga pada akhirnya,carut marut bahasa, hancurnya ungkapan dan terceraiberainya kesantunan terjadi di mana-mana. Akibat ini kita pahami sebagai efek domain dari pesatnya teknologi yang telah ‘bringas’ dalam kuasanya untuk mengoneksikan individu satu dengan individu lainnya. Ngerinya, karena semua punya kuasa dalam publikasi ide maka secara otomatis transportasi ide pun tak terbendung. Ideologi, kekuatan dan hegemoni telah menyatu dalam publikasi gagasan itu. Ketiganya hadir dalam wujud tulisan, audio, visual bahkan paduan dari semuanya terus membentuk paradigma kepentingan tertentu seakan dibahasakan sebagai kepentingan publik.
Diksi dan Godaan Linguistik
Kata kunci dalam kontestasi adalah meraup legitimasi besar dari publik. Dalam bahasa ekstrim, untuk menjari pemimpin publik dalam konteks politik tidak membutuhkan banyak persyaratan akademik. Karena seorang Profesor belum tentu bisa dapat dukungan banyak dari masyarakat. Akan tetapi, kompetensi bahasa atau nalar linguistik lah yang menjadi patokan utama seaeorang bisa menjadi tokoh publik.
Keselo dalam berbicara atau slip of the tongue bagi seorang pejabat publik atau calon pejabat publik akan menjadi bulan-bulanan publik. Bahkan kesalahan tersebut akan menjadi bahasan dalam riset ilmiah. Kegagalan seorang pemimpin adalah ada pada kelemahan dia memahami bahasa masyarakat. Jika ide besar itu lahir dari ungkapan sederhana, maka ungkapan juga lahir dari diksi atau kata yang dipertimbangkan oleh pembicara atau pengujar.
Dalam konteks politik kekinian, dokumen digital (DD) sangat mapan. DD akan terus dibuka bagi siapapun yang ingin tahu terjadap siapapun yang ingin menjadib pejabat publik. Kesempurnaan bagi pejabat publik merupakan tuntutan meskipun berat.
Bahasa rakyat atau publik merupakan diksi kebutuhan, diksi realitas dan diksi kejujuran. Bukan polesan linguistik bersayap seakan puisi yang selesai diapresiasi tanpa ada tuntutan menemukan realitasnya.
Pemimpin handal adalah mereka yang mampu memilih bahasa yang baik dan diterima oleh masyarakat. Ya, bahasa kebutuhan itu tidak melulu berbicara memberi uang kepada masyarakat. Akan tetapi rekam jejak personal sebelum dan sesudah ia menjabat, itulah bahasa yang dapat dimengerti publik. Dengan demikian, dalam upaya menyambut 2019 yang diaebut sebagai tahun politik, setidaknya ada empat kata kunci bagi calon pejabat politik yang harus mampu berbahasa dalam bahasa kebutuhan dimiliki:
Pertama, bahasa ekonomi. Bahasa ekonomi adalah perilaku calon yang dapat memberikan harapan tentang perbaikan ekonomi rakyat. Bukan program ke depan saja yang disampaikan, namun kiprah kandidat yang sudah dan sedang dilakukan hari ini apakah merujuk pada ide besar membangun ekonomi. Sebagai contoh: dia sebagai pengusaha, pemilik bisnis atau investor dll.
Kedua, bahasa moral. Di negara Indonesia yang penduduknya beragama, tentu salah satu pertimbangan memilih pemimpin adalah dilihat dari kompetensi agamanya: baik secara sosial dan baik secara personal. Terhadap tetangga baik, dan ibadahnya pun rajin. Parameter itu menjadi alasan utama bagi kandidat agar menjaga bahasa moral. Sekuat apapun ‘uang’ yang dimiliki tapi jika cacat moral, selesailah sudah riwayat kandidat.
Ketiga, bahasa sosial. Domain ini tidak kalah pentingnya harus dimiliki seorang kandidat. Sikap ramah, murah senyum, tidak mudah emosi di depan publik akan turut mewarnai nilai positif bagi kandidat. Sebaik apapun gagasan yang ditawarkan, rekam jejak yang selaras tapi jika performa komunikasi verbal di depan publik tidak ramah. Maka gagallah kandidat untuk mendapatkan legitimasi publik.
Keempat, bahasa nyata. Poin ini menjadi penentu bagaimana seorang kandidat itu dapat meraih legitimasi publik ketika dia mampu berbuat nyata dan langsung dirasa oleh masyarakat. Program-program yang masuk dalam poin ini adalah bersifat pembangunan persepsi dan karakter publik untuk berubah. Contoh konkretnya adalah membangun inkubasi bisnis, pusat pembelajaran masyarakat dan kegiatan lain yang bersifat terrencana dan berkelanjutan, tidak sesaat dan sarat kepentingan.
Demikianlah poin penting dalam meraih suara publik maksimal. Karena legitimasi yang dibangun secara dadakan akan rapuh dan koyak sesaat, sementara legitimasi yang dibangun atas dasar fondasi kuat melalui program terencana dan berkelanjutan, Insya Allah akan bertahan lebih lama. Karena legitimasi publik itu tidak hanya digunakan untuk kepentingan politik sesaat tapi untuk kehidupan yang lebih bermakna.***
Penulis: Nanan Abdul Manan
Dosen STKIP Muhammadiyah Kuningan
Wakil Ketua ICMI Orda Kabupaten Kuningan