KUNINGAN (MASS) – Turki, negeri yang menjembatani Asia dan Eropa, kini tengah menghadapi badai ekonomi yang mengguncang stabilitasnya. Dari Istanbul hingga Ankara, dampak krisis itu begitu terasa harga kebutuhan pokok melonjak, nilai tukar lira terus merosot, dan tingkat inflasi mencapai rekor tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Warga yang dulunya hidup nyaman kini harus beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit. Apakah ini pertanda dari kebijakan ekonomi yang kurang tepat, atau ada faktor eksternal yang memperparah keadaan?
Sejumlah analis menilai bahwa krisis ekonomi Turki bukanlah fenomena mendadak, melainkan hasil dari kombinasi berbagai faktor, mulai dari kebijakan moneter yang kontroversial hingga gejolak politik dalam negeri. Seperti dilansir dari Bloomberg, keputusan pemerintah untuk menurunkan suku bunga di tengah inflasi tinggi justru mempercepat pelemahan lira. Sementara itu, menurut laporan The Guardian, ketegangan geopolitik dan utang luar negeri yang membengkak turut menambah beban ekonomi negara.
Lalu, bagaimana masa depan Turki di tengah badai ini? Berdasarkan hasil studi literatur hingga Minggu (30/3/2025), berikut fakta-fakta unik mengenai krisis ekonomi yang sedang mengguncang Turki dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan di negeri dua benua ini.
Inflasi Meroket, Daya Beli Terjun Bebas
Turki kini menghadapi inflasi tertinggi dalam lebih dari dua dekade, mencapai 78% pada pertengahan 2022 dan masih bertahan di angka 65% pada awal 2025. Harga kebutuhan pokok seperti roti, susu, dan bahan bakar meningkat lebih dari dua kali lipat dalam setahun terakhir. (Al Jazeera)
Lira Terpuruk, Kepercayaan Investor Hilang
Nilai tukar lira terhadap dolar terus melemah, dari 8 lira per dolar pada 2021 menjadi 33 lira per dolar di awal 2025. Depresiasi mata uang ini menyebabkan harga impor melonjak, memperburuk inflasi. Para investor global pun menarik dananya, memperparah krisis ekonomi. (Reuters)
Bisnis Gulung Tikar, Rakyat Kehilangan Harapan
Di pasar Grand Bazaar, tempat wisata belanja ikonik di Istanbul, puluhan toko terpaksa tutup karena harga barang yang tak terjangkau lagi oleh masyarakat. Pemilik toko kelontong kecil, Hasan Demir, mengaku bahwa penjualannya turun lebih dari 50% dalam enam bulan terakhir. “Dulu pelanggan membeli dalam jumlah besar, sekarang mereka hanya membeli seperlunya,” katanya kepada The Guardian. (The Guardian)
Kebijakan Moneter yang Kontroversial
Untuk mengendalikan inflasi, bank sentral Turki menaikkan suku bunga hingga 50%, namun langkah ini justru membuat pinjaman usaha semakin mahal. Presiden Erdogan yang sebelumnya menentang kenaikan suku bunga kini menghadapi dilema besar: menyelamatkan ekonomi atau mempertahankan popularitasnya menjelang pemilu 2026. (Financial Times)
Gejolak Politik dan Demonstrasi Massal
Krisis ekonomi memicu ketidakpuasan sosial. Ribuan warga turun ke jalan menuntut perubahan kebijakan ekonomi dan menolak kebijakan represif pemerintah terhadap oposisi. Penangkapan wali kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, memicu protes besar-besaran, meningkatkan ketegangan politik di negara itu. (CNN)
Masa Depan yang Tak Pasti
Turki kini berada di persimpangan jalan. Jika kebijakan moneter dan fiskal tidak segera diperbaiki, negara ini bisa menghadapi resesi yang lebih dalam. Dunia internasional mencermati langkah-langkah yang akan diambil pemerintahan Erdogan, sementara rakyat Turki hanya bisa berharap agar keadaan segera membaik.
Krisis ekonomi yang melanda Turki bukan sekadar persoalan angka di pasar keuangan, tetapi juga menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Dari inflasi yang meroket hingga kebijakan pemerintah yang menuai pro dan kontra, situasi itu menjadi tantangan besar bagi negeri dua benua tersebut.
Di tengah ketidakpastian ini, dunia terus mengamati bagaimana langkah Turki dalam menghadapi krisis dan menjaga stabilitasnya. Apakah reformasi ekonomi yang diterapkan mampu membawa perubahan, atau justru memperdalam krisis yang ada? Waktu yang akan menjawab. (argi)
