KUNINGAN (MASS) – Dalam perjalanan spiritualnya, Muhammad Ibnu Fadhil menemukan bahwa Islam bukanlah agama yang keras, sebagaimana doktrin yang pernah ia terima sebelumnya. Justru, Islam adalah agama kasih sayang dan kedamaian. Dalam pencariannya, ia mendalami ajaran Islam hingga akhirnya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Namun, perjalanan seorang muallaf tidak berhenti setelah mengikrarkan keislamannya. Ada tantangan baru yang harus dihadapi, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi. Bagi Muhammad Ibnu Fadhil, menjadi seorang Muslim bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab. Ia menolak untuk terus disebut sebagai muallaf istilah yang menurutnya hanya relevan bagi mereka yang baru berpindah agama. Kini, ia lebih memilih menyebut dirinya sebagai mukallaf, seorang mukmin yang telah siap menanggung kewajiban sebagai Muslim seutuhnya.
Setelah memeluk Islam, Muhammad Ibnu Fadhil dihadapkan pada tantangan baru, baik dari lingkungan sekitar maupun dalam hal mencari nafkah. Tidak sedikit muallaf yang kesulitan mendapatkan pekerjaan atau kehilangan dukungan finansial dari keluarganya. Namun, ia berprinsip bahwa seorang Muslim harus berusaha menjadi pribadi yang mandiri dan tidak hanya bergantung pada bantuan orang lain.
“Islam mengajarkan kita untuk bekerja keras dan tidak hanya mengharapkan belas kasihan. Saya tidak ingin menjadi beban bagi orang lain hanya karena status saya sebagai mualaf,” ungkapnya dalam podcast bersama Kuningan Mass, Selasa (18/3/2025).
Sebagai mantan penginjil yang terbiasa berdakwah, Muhammad Ibnu Fadhil tetap mempertahankan semangat dakwahnya. Bedanya, kini ia berdakwah sebagai seorang Muslim, berbagi ilmu dan pengalaman kepada mereka yang sedang dalam proses pencarian kebenaran.
Banyak mualaf yang ketika masuk Islam langsung bergantung pada bantuan dari lembaga atau komunitas Muslim. Namun, Muhammad Ibnu Fadhil menekankan mentalitas ketergantungan, justru bisa melemahkan posisi seorang muallaf dalam Islam.
“Kita memang harus saling membantu, tapi jangan sampai hidup hanya bergantung pada bantuan. Kalau kita terus meminta-minta, bagaimana kita bisa dihormati sebagai Muslim yang kuat?” ujarnya.
Ia pun memilih jalan hidup yang lebih mandiri dengan berdagang dan bekerja sendiri. Selain berdakwah, ia juga menjalankan usaha kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi nabi. Islam menganjurkan kita untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal. Saya ingin menjadi Muslim yang kuat, baik secara iman maupun ekonomi,” tambahnya.
Meskipun sibuk dengan usaha dan kehidupan keluarganya, Muhammad Ibnu Fadhil tetap aktif berdakwah. Ia sering diundang untuk mengisi ceramah di berbagai tempat, berbagi pengalaman dan memberikan motivasi kepada para mualaf agar tidak mudah menyerah.
“Saya ingin menunjukkan bahwa mualaf bisa hidup mandiri dan tidak kalah dengan Muslim yang sejak lahir sudah memeluk Islam. Justru, kami harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa hijrah kami adalah jalan yang benar,” katanya.
Baginya, dakwah bukan hanya soal berbicara di depan orang banyak, tetapi juga bagaimana menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
“Saya ingin mualaf lain melihat bahwa kita bisa sukses, kita bisa kuat, dan kita bisa tetap istiqamah dalam Islam tanpa harus bergantung pada orang lain,” tegasnya.
Pada setiap dakwahnya, Muhammad Ibnu Fadhil selalu mengingatkan, menjadi seorang Muslim adalah sebuah tanggung jawab besar.
“Islam itu bukan hanya tentang masuk dan mendapatkan gelar mualaf. Islam adalah jalan hidup yang harus dijalani dengan penuh kesungguhan. Jangan hanya berpindah keyakinan, tapi tidak berubah dalam tindakan,” tegasnya.
Ia berharap para muallaf bisa terus berkembang dan menjadi bagian dari komunitas Muslim yang produktif. Melalui semangat kerja keras dan kemandirian, ia ingin menghapus stigma bahwa muallaf adalah kelompok yang selalu membutuhkan bantuan. (argi)
Tonton selengkapnya disini :
