Oleh : El-huda
Hasan masih terkurung di kamarnya. Kakinya terbelenggu kayu. Terpasung. Sudah dua bulan. Terkadang, tetangga dan sanak saudaranya yang lain datang menengok keadaanya yang begitu memprihatinkan. Usia Hasan masih sangat muda, masih 30 tahun. Belum menikah.
“Sabar ya mbok, Hasan masih muda, mungkin masih bisa sembuh” ujar tetangga.
Hasan mulai mengerti, dia dianggap sakit. Yang tidak dimengerti, bagian mana dari dirinya yang dianggap sakit. Dia merasa sehat sehat saja. Kecuali kakinya yang dipasung.
“Kalo jiwanya kuat, nanti juga balik bu” seorang lainnya. Kadang Hasan pikir, dia dikira disantet.
“Gangguan jiwa bisa sembuh kok, harus didukung keluarga,” ujar tetangganya. Pura pura simpati. Memang di kampungnya ikatan tetangga masih sangat kuat. Gotong royong dan silaturahminya masih terjaga. Meski barang tentu, aib satu keluarga pun diketahui satu kampung.
Barulah hasan mengerti, dia sudah dianggap gila sejak sebulan lalu. Hasan ingat, dirinya ditangkap petugas rumah sakit jiwa karena memburu seorang lelaki tua. Tapi keluarga memintanya kembali. Dirawat di rumah. Dengan jaminan.
Di dalam kamar. Sembari membiarkan dirinya menjadi tontonan warga. Hasan tidak peduli lagi. pikirannya menjelajah waktu, melintasi masa.
Dua tahun lalu Hasan masih seorang akuntan di salahsatu jawatan yang mengurusi orang gila dan anak jalanan. Betah betul ternyata Hasan, yang semuda itu, di usianya menginjak 29 mendapat promosi menjadi kepala keuangan di jawatan. Kata atasannya, kinerja Hasan baik, dia patuh dan turut. Bukankah begitu zaman sekarang. Siapa seperti anjing tuannya, akan hidup lebih mudah ? begitu juga Hasan. Manut.
Hasan menjabat kepala keuangan. Setiap pengeluaran dan pemasukan harus lewat Hasan. Di jabatan itulah, para Kasi, dan Kabid di Jawatannya, mulai sering mengajaknya berbincang di luar kantor. Ngopi. Semuanya berburu ttd Hasan.
Kejenuhan Hasan di dalam kantor serta merta membuatnya ingin ikut terjun ke lapangan. Tentu tak ada yang melarang. Namanya pun Kepala keuangan. Hasan jadi sering berdinas keluar. Lebih sering dengan kepala Jawatan. Surat jalan di ttd-nya sendiri. Tentu hal menarik, bekerja bertahun tahun di jawatan orang gila dan anak jalanan, tapi tak pernah bertemu langsung. Inilah saatnya, pikir Hasan.
Tak sangka ketertarikannya bakalan seperti ini. Hasan benar bergantung pada orang gila. Sehari tak bertemu, dia akan uring uringan tak karuan. Mengobrol sendiri. Marah sendiri. Dan tertawa sendiri. Tentu bukan tanpa proses. Kan awalnya pun tak begitu.
Beberapa kejadian di tempat tempat yang dikunjungi Hasan selalu menarik. Tentu saja orang gila lebih senang tertawa terbahak, menangis sejadi jadi, dan perubahan emosi yang begitu cepat dalam suatu waktu. Itu Hasan mengerti. Tapi penyebab orangnya sendiri menjadi gila. Tentu saja lain lain.
Di salah satu panti yang dikunjunginya, dengan kepala jawatan, hasan mendapati seorang suster sedang berusaha keras mengajak ngobrol seorang ibu yang diangap gila. Si ibu sedari tadi pagi menangis. Tak henti-henti, tidak seperti biasa. Anaknya hilang. Tentu saja maksud anaknya adalah boneka yang biasa dia gendong. Bangun tidur tadi, tidak ada di tempat. Entah dimana. Makanya si ibu menangis terus menerus. Si suster sabar. Mungkin pusing sebetulnya.
Belakangan Hasan tahu. Orang itu gila, karena kelima anaknya meninggal bersamaan karena suatu penyakit. Pun demikian yang dikandungnya. Keguguran. Begitulah kalo terlalu sayang pada anak, terdengar dari bisik-bisik suster. Hasan mengangguk-ngangguk. Mengerti. Kasih sayang itu ternyata berbahaya. Kan lebih sehat ibu ibu yang aborsi, anaknya sengaja mati, agar tida ketahuan beranak. Begitu kiranya.
Kejadian lainnya tak kalah heboh. Di panti lain, saat mengawal kepala jawatan. Katanya harus berpidato di antara para donatur. Tentu saja agar lebih meyakinkan donatur bahwa membantu panti adalah perbuatan mulia. Kan kalo panti banyak disumbang, uang transportasi kepala jawatan akan lebih besar. Nama kepala jawatan akan lebih harum.
Di tengah sambutannya di aula panti, seorang bapak bapak masuk dari luar sambil berteriak teriak. Dia menunjuk nujuk. “Jangan percaya, jangan percaya para pejabat, kita dirampok. Mereka penjajah.” Lalu menangis sejadi jadinya. Hadirin nampak takut sejenak. Untungnya para perawat lelaki sigap menangkapnya. Menyeretnya dengan tidak hati hati. Tapi orang gila itu tetap menunjuk nunjuk sembari melotot. Matanya terus lurus menatap kepala jawatan. Semua orang tahu. Mereda. Semua tamu kembali duduk. Kejadian dilupakan begitu saja. Namanya juga orang gila.
Belakangan Hasan tahu, orang itu gila akibat tanahnya yang hanya beberapa petak itu digusur. Tanpa ampun. Ada proyek besar yang hendak dibangun. Si orang gila itu adalah orang yang sejak awal menolak. Tapi tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya kalah. Tapi tidak bisa ganti rugi juga. Berkas berkas tanah dan bangunannya hilang. Dirampok orang. Jadilah gila. Gila karena melindungi harta dan kehormatan. Gila karena memikirkan keluarga. Kan harsnya bersekongkol saja. Mungkin bisa jadi kaya. Bersekongkol jadi makelar tanah, misalnya. Atau jadi rampok. Apa saja. Kan yang merampok selalu lebih makmur.
Kejadian kejadian itu berulang ulang. Ada ada saja yang membuat orang gila. Kadang cuman putus cinta. Kadang juga gagal nyaleg. Ada juga yang terkena ilmu hitam. Ah macam macam rupanya.
Hasan mulai banyak mencatat pengalaman pengalamannya di lapangan tentang orang gila. Mungkin saja bisa jadi laporan bagus, pikirnya. Maka sejak enam bulan belakangan, Hasan selalu berangkat ke kantor lebih pagi dan pulang lebih malam. Tujuaanya, bertemu orang gila dan ngobrol bareng mereka. Seperti perawat di panti saja.
Beberapa hal baru diketahuinya dari perjalanan orang gila. Ada tingkatannya. Tuna grahita, stress, gila. Ada juga yang kambuh kambuhan. Ada juga yang setengah sadar setengah tidak. Tapi kebanyakan, yang dijalan semua bisa diajak ngobrol. Hasan mulai ngobrol dengan orang gila.
Hasan tidak bisa melepaskan kebiasaanya mengobrol dengan orang gila. Tapi sedikit banyak jadi tahu rahasisa mereka. Mau bagaimana lagi, Hasan pikir orang gila adalah manusia paling jujur. Nangis ketika perlu menangis. Tertawa hanya ketika perlu tertawa. Marah karena harus marah. Dan makan pun seperlunya. Biasanya tinggal mengulurkan tangan, pedagang mengasihinya, meski langsung mengusirnya. Hidup yang sederhana. Benar benar hanya hidup saja. Tak ada gengsi, tak ada kemaluan.
Orang gila tak pernah merugikan, pikir Hasan. Mungkin memang tak bikin nyaman saja, atau menakutkan. Tapi kan banyak orang yang merugikan, tak bikin nyaman, atau menakutkan. Tak ada mereka disebut gila juga. Pikir Hasan.
Satu lagi, orang gila tak pernah sakit. Itu yang bikin Hasan terheran heran. Bermalam malam, di suasana dingin. Berbulan bulan perjalanan tanpa henti. Tapi tak ada ceritanya orang gila sakit, demam, atau flu. Fisik mereka benar benar sehat. Lelaki atau perempuan. Mungkin karena pikirannya bersih, pikir Hasan.
Memang demikian. Orang gila jadi begitu menarik menurut Hasan. Bahkan Hasan jadi ingat betul orang orang gila di jalanana dari rumahnya menuju kantor. Hasan menghitungnya, mengingat wajahnya, mengingat kebiasaan tingkahnya, semuanya.
Lalu Hasan jadi ingin seperti mereka, tak ada gengsi, tak ada tekanan, hidup mengalir, dan tak akan pernah sakit. Persis seperti orang gila.
Itulah kejadian 3 bulan terakhir ini. Hasan akhirnya jarang lagi ke kantor. Pakaian dinasnya dibiarkan saja menggantung di dalam kamar. Dia mulai keluar rumah dengan baju compang camping. Mulai menggeletak di pinggir jalan. Mulai berjalan jalan tak karuan di trotoar. Lapar mulai tak dirasainya. Dingin mulai tak dirasainya. Panas mulai tak dirasainya. Merasa Hasan sudah mulai mirip dengan orang orang sebangsanya, yang gila.
Sebulan berlalu, dan Hasan sudah semakin menjadi jadi. Tak pernah lagi dia ke rumah atau berangkat bekerja. Orang orang dekatnya sudah khawatir. Surat SP3 dari jawatan pun sudah melayang. Hasan sudah bebas dari segala hal, dari kebohongan tentang laporan keuangan, dari lobi lobi para kasi dan kanit, dari tuntutan tuntutan orang tua dan tetangga. Hasan sudah bebas, dia merasa lepas, dan merasa berhasil menjadi ornag gila.
Sanak saudara tak ada yang terima. Mereka tak mau malu melihat keluarganya menggelandang di jalanan. Bukan, bukan karena saudaranya benar benar simpatik. Hanya malu saja. Mereka takut mata masyarakat menganggap saudara Hasan sebagai orang yang tidak punya rasa persaudaraan. Itulah kenapa akhirnya, keluarga setuju Hasan di rumah saja, penjara yang disebut keluarga sebagai kamar.
Saat itulah mulai banyak tetangga dan saudara yang menjenguk Hasan. Menengoknya, sambil menggunjingnya. Hasan dengar betul keluarganya berusaha menjelaskan kenapa Hasan stress.
“Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan di Jawatan” kata orang tua Hasan.
Tapi orang Jawatan tak terima. Mereka bilang Hasan tak akan kalah kalau soal pekerjaan.
“Mungkin karena sudah 30 tahun, belum punya calon istri, tertekan keluarga,” kata mereka.
Kadang yang lain lain bilang karena disantet. Banyak juga yang bilang, kepala Hasan mungkin terbentur sesuatu.
Memang ada betulnya. Hasan di rumah selalu dipaksa kawin dengan Minah, anak juragan kayu kenalan Bapak. Di kantor juga tidak lebih baik, belakangan Badan Pengawas Keuangan sudah sering mondar mandir di Jawatannya, mencari cari kesalahan. Orang orang tak mau tahu. Hanya Hasan, kepala keuangan yang bertanggung jawab. Padahal Hasan hanya turut pada kepala jawatan. Belum lagi tetangga-tetangga yang sinis. Mereka bilang, Hasan, semuda itu jabatannya tinggi, pasti sogokan, atau ilmu hitam, buktinya Hasan belum menikah. Hasan bukan tak mau menikah, tapi kekasihnya, Marni, kawin lari dengan Andre. Kan itu semua yang membuat Hasan lebih nyaman jadi gila.
“Akh, menyebalkan. Karena Aku gila, malah membuat mereka berfikir. Aku sehat, tak ada yang mau mikir.”
“Mungkin aku sukses jadi orang gila.”