KUNINGAN (MASS) –
“Kamu diperkosa”
“Kamu diperkosa”
“Kamu diperkosa”
Itu yang ada dalam pikirku tentangmu saat ini. Hari dimana kau dinikahi lelaki, yang pernah kau bilang ‘orang baik’ itu.
Jujur saja, semalaman aku tak bisa tidur, bahkan sampai menjelang subuh. Hanya karena, kulihat kau tertawa berbahagia di pelaminan pagi tadi.
—————
Entah kenapa, terbayang wajah dan tubuhmu yang kudamba itu, tiba-tiba akan digarayangi orang lain. Orang yang aku tahu sosoknya, dari foto yang pernah kau kirim padaku sebelum hari pernikahan.
Mungkin memang aku belum bisa rela sepenuhnya soal pernikahanmu. Tapi ah, mana ada lelaki yang rela wanita tercintanya, digauli orang selain dirinya.
Dalam hati selalu kuingat, kau yang selama ini adalah tempat berbagi keluh kesah dan canda tawa itu, harus dijamah lelaki se-usiaku.
Bedanya, dia sudah mantap menikah. Sedangkan aku ? Hidup saja masih tergadai.
Sampai sekarang, pikiranku masih terusik. Datang ke pernikahanmu sebagai tamu. Menyalami dan memberikanmu hadiah kecil sebagai ucapan selamat, selayaknya kolega yang datang. Sangat mengganggu.
Aku ingat betul, aku bilang turut bahagia.
Aku mengucap itu dengan senyum manis, meski hati terasa diiris.
Terbayang, sekarang malah kau yang lebih dulu menikmati madunya pernikahan. Kau akan digagahi.
Padahal itu adalah hal yang dulu selalu kita jaga bahkan saat kita berdua sudah terkadung nafsu itu, kini akan kau berikan untuknya-kan ? Sial.
Sepanjang malam, pikiran-pikiran itu terus mengganggu. Kesedihan dan perenungan ini mengantarku pada heningnya malam. Tak terasa, sudah menjelang pagi. Sudah jam 03.00 pagi.
15 menit berselang, sayup-sayup terdengar dari mushola yang cukup jauh, lelaki tua ‘pupujian’ dengan speaker yang agak rombeng.
Padahal aku harus tidur. Besok aku harus bekerja.
Setelah coba kupaksa memejamkan mata, aku kembali terjaga. Baru satu jam. Adzan subuh sudah terdengar. Syaraf-syaraf dan pendengaranku jadi lebih sensitif. Aku terjaga, dan tak ingin tidur lagi.
Sejam kemudian aku bersiap untuk bekerja. Pekerjaan yang aku yakini sejak dulu bahwa ini mulia. Meskipun salary-nya sangat kecil, tapi manfaatnya begitu luas.
Aku ingat betul, dulu kau yang meyakinkanku untuk bertahan dengan apa yang kupercayai. Kau bilang, lelaki dinilai dari apa yang dikerjakannya, prosesnya, bukan hasilnya.
Kau bilang, lelaki itu hanya harus tunduk pada mimpinya. Bukan pada uang, dan bukan pula pada perempuan. Aku amini itu. Terima kasih sempat menguatkan.
Tapi sekarang, kenapa rasanya begitu menyakitkan, sayang ?
Aku juga ingat, saat kau bilang orang tuamu ingin kau segera menikah. Ada tetanggamu yang sudah datang. Dia sudah siap segalanya.
Kau tak memberiku pilihan.
Orang tuamu sudah setuju. Orang tuanya sudah sangat suka. Dan kau pun bersedia. Sial.
————-
“Pak guru, pak guru”
Sebuah suara membuyarkan lamunanku.
Seorang anak kecil dengan bedak belepotan di pipinya menghampiriku di depan gerbang sebuah sekolah dasar negri.
Namanya Rian, dia anak kelas 2 SD yang menyalamiku dengan bersedu. Mengadu diejek temannya.
“Kau lelaki, jangan menangis,”ucapku padanya.
Rian berhenti tersedu, lalu bercerita tentang teman yang merebut mobil-mobilan kecil pemberian ayahnya. Mobil-mobilan yang sangat berharga.
Aku pertemukan Rian dan temannya. Kunasihati keduanya dengan pelan dan mengerti. Mereka berdua bersalaman, lalu kembali bermain bersama seolah lupa apa yang baru saja terjadi. Lupa dengan tangisan.
——————-
Jam istirahat tiba. Aku masih duduk di depan kelas. Anak-anak sudah berhamburan keluar untuk bermain gundu atau karet. Bermain dengan lepas tanpa pikiran apapun. Aku memeriksa lembar ujian.
Ya, inilah pekerjaanku.
Seorang guru di salah satu SD Negri di kampung. Keseharianku bertemu tunas-tunas muda yang akan jadi penopang untuk bangsa kedepan.
Soal gaji ? Jangan ditanya.
Memilih menjadi guru non PNS di perkampungan adalah pengorbanan.
Seusiaku, teman kuliahku dulu, sudah bekerja di berbagai perusahaan besar. Wara-wiri di hiruk pikuknya perkotaan.
Beberapa bahkan sudah pulang pergi ke luar negri. Dan aku, mungkin sudah dianggap membusuk disini.
Tapi sejak awal, bukan itu yang kupercaya.
Pengabdian. Mencetak generasi adalah hal paling vital jika kita sebagai sebuah bangsa ingin membangun peradaban. Mencetak generasi bukan hanya dengan pengetahuan, tapi juga moral. Itu yang kupercayai.
Berkali-kali diterpa kegelisahan dan digoyahkan banyak orang. Tawaran kerja, ajakan merantau, hingga ejekan teman saat tahu, kegiatanku hanya mengajar ABC dan 123 di kampung.
Tapi…
Kau bukan yang meyakinkanku untuk terus percaya. Percaya pada mimpi yang kuyakini. Kau bilang, lelaki hanya boleh tunduk pada mimpinya sendiri.
Kukepalkan tangan yang sedari tadi memegang sebuah bolpoin hitam. Retak, lalu pecah.
Tak terasa, ingatan demi ingatan itu ternyata membuatku meneteskan air mata.
“Pak kenapa menangis. Katanya lelaki gak boleh nangis” tanya seorang murid.
Ternyata itu Rian, anak yang tadi pagi kuceramahi karena mobil-mobilan berharganya diambil teman.
Aku segera mengusap air mata. Aku bilang, mataku sedang agak sakit, mungkin kena debu kapur sewaktu mengajar. Dia tidak banyak bertanya. Langsung pergi keluar.
Aku terenyuh.
Dalam hati, aku tertawa dan mengejek diri sendiri. Mengajari murid jangan berbohong, tapi aku sendiri malah berbohong. Kuharap bohong yang ini diampuni tuhan.
Pertanyaan Polos Rian tadi masih menggantung di pikiranku. Benar juga, padahal aku sendiri yang bilang.
“Kau lelaki, jangan menangis”
Kuningan, Desember 2021
Penulis : E Nurhuda
Inisial B
31 Desember 2021 at 18:07
Anying sedih kieu atuh, ulah ka kuat mang eki ulah Ceurik
Hulailah
2 Januari 2022 at 06:15
Jangan sedih pa guru, Allah akan mempertemukanmu dengan yg lebih baik, semoga hari-harimu berlalu dgn rasa ikhlasmu jauhi penyesalan berhusnudzonlah kepada Allah
Insya Allah happy ending.