KUNINGAN (MASS) – Pandemi Covid-19 mengakibatkan iklim pasar modal bervolatilitas tinggi. Meskipun tingginya volatilitas seringkali dijadikan ajang meraup untung besar oleh spekulan. namun investor cenderung lebih merasa nyaman dengan volatilitas rendah karena resiko investasinya dinilai lebih friendly.
Kondisi ini membuat investor ‘memasang kuda-kuda’ dengan mendiversifikasi ulang portofolionya. Kontan kinerja pasar modal terguncang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan terakhir melemah 10,75%, sehingga BEI harus melakukan trading halt dan mengatur ulang batas auto rejection untuk menahan kejatuhan.
Besarnya dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian membuatnya disebut-sebut sebagai black swan. Suatu fenomena langka dan sulit diprediksi yang mempengaruhi perekonomian global.
Terbukti, dalam beberapa pekan terakhir, beberapa saham global seperti Indeks Shang Hai Composite, Hang Seng, KLCI, Straits Times, dan Kospi melorot. Bahkan, indeks Dow Jones yang mencirikan kinerja saham Amerika Serikat mengalami kejatuhan terburuk semenjak Black Monday 1987.
Kejatuhan saham atau crash menurut peneliti Harvard, Robert J Barro (2017) secara substansial dapat mengakibatkan depresi, suatu penurunan kumulatif perekonomian makro sebesar 10% atau lebih. Depresi merupakan dampak terburuk yang sangat ditakuti dunia karena berarti pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan berada pada angka negatif.
Depresi juga dicirikan dengan pengangguran yang tinggi, tingkat kemiskinan meningkat tajam, kredit macet, terguncangnya sektor industri, hingga melorotnya investasi. Atas dasar itu, beragam kebijakan stabilisasi dilakukan oleh seluruh dunia dalam rangka perang melawan guncangan ekonomi seperti ini.
Terpukulnya pasar modal oleh pandemi Covid 19 seperti ini merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Riset (Jaewook, Jewoo, Seul, dan Liang, 2019) menyebutkan bahwa suatu wabah penyakit selalu berdampak negatif terhadap kondisi bursa.
Upaya yang terbukti efektif untuk mempertahankan nilai perusahaan atas dampak negatif wabah berdasarkan riset tersebut adalah dengan memperkuat reliabilitas merek, efek iklan/promosi, dan tipe pelayanan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan dalam bidang kuliner (restoran, makanan/minuman). Ini artinya, sangat penting untuk menumbuhkan optimisme dan trust konsumen agar kinerja keuangan perusahaan membaik.
Dalam penelitian-penelitian di bidang akuntansi, kinerja keuangan perusahaan sangat menentukan harga sahamnya. Atas dasar itu, memperbaiki kinerja keuangan adalah upaya penting yang harus dilakukan setiap perusahaan.
Namun dalam pandemi seperti ini, meningkatkan kinerja tersebut jelas bukanlah hal yang mudah. Diperlukan strategi yang tepat, inovatif, dan out of the box. Dalam penelitian (Henri, 2006) misalnya, peningkatan kinerja perusahaan ini dapat ditingkatkan melalui kapabilitas yang terdiri dari orientasi pasar, pembelajaran organisasi, inovasi, dan kewirausahaan.
Selain itu, apabila mengacu pada Resource Based View (RBV) teori, suatu perusahaan perlu memaksimalkan sumber daya yang dimilikinya untuk mewujudkan keunggulan. Memaksimalkan sumber daya inilah yang nampaknya perlu direformulasi perusahaan dengan mengaktifkan strategi-strategi anti pandemic seperti sekarang ini.
Menjaga stabilitas kondisi bursa sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Hingga saat ini roda perekonomian negara masih sangat bergantung pada investasi. Berdasarkan data per-Desember 2019, nilai investasi Indonesia berkontribusi sebesar 32,2% dari total PDB.
Di samping itu, investasi yang salah satu pintu masuknya berasal dari pasar modal tersebut merupakan faktor penggerak roda perekonomian dengan penciri diantarannya berupa peningkatan kapasitas produksi, penambahan modal kerja sektor usaha, hingga perluasan lapangan kerja. Berdasarkan hal itu, jika pasar modal tidak segera stabil, ekonomi Indonesia dikhawatirkan tidak akan mampu bertahan.
Investor lokal diharapkan memaksimalkan peran. Semakin banyak investor lokal, volatilitas tinggi dalam bursa setidaknya dapat diminimalisir. Dengan demikian, para investor lokal diharapkan untuk ikut serta membangun trust agar pasar modal dan basis ekonomi Indonesia tidak terpuruk terlalu dalam.
Investor lokal juga diharapkan tidak terlalu mengejar capital gain, melainkan lebih kepada investasi jangka panjang. Di samping itu, apabila mengacu pada gagasan John Maynard Keynes, intervensi pemerintah dalam mendorong perekonomian, termasuk pasar modal juga cenderung sangat diperlukan.
Meskipun berbeda dengan prinsip pengelolaan ekonomi Indonesia yang relatif ingin menciptakan intervensi seminimal mungkin, tetapi pandangan ekonomi Keynes ini nampaknya sudah perlu dilakukan dengan porsi sedikit lebih banyak. Baik itu melalui kebijakan fiskal, moneter, maupun paket-paket kebijakan ekonomi.
Di Amerika Serikat yang merupakan negara dengan kasus Covid -19 tertinggi misalnya, beragam stimulus ekonomi diberikan untuk memulihkan bursa dan seluruh perekonomian. Presiden Donald Trump telah menandatangani Undang-Undang CARES (Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security) untuk meredam dampak kerusakan ekonomi yang disebabkan Covid 19.
Undang-Undang tersebut akan memberikan stimulus sebesar 2 triliun dollar yang akan diberikan untuk membantu sektor usaha, pinjaman bisnis kecil dan mikro, bantuan pengangguran, rumah sakit, dan bantuan langsung untuk keluarga-keluarga di Amerika.
Kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap akan efektif menanggulangi Covid 19 di Amerika, meskipun sebagian lagi mengkritisinya. Sebab, bantuan yang diberikan kepada keluarga-keluarga yang terancam miskin belum tentu dapat dibelanjakan, mengingat banyaknya ritel dan sektor usaha lain yang sudah ditutup.
Sementara itu, kebijakan yang dilakukan Amerika dalam menghadapi kejatuhan pasar modal adalah dengan memotong suku bunga acuan menjadi 0%. Pemotongan suku bunga oleh The Fed ini bahkan menjadi yang terekstrem sejak 2008. Namun tujuannya jelas, pemotongan suku bunga ini dilakukan dalam rangka mencegah Amerika dari resesi.
Selain pemotongan suku bunga, The Fed juga akan membeli surat utang senilai 700 miliar dollar. Akan tetapi, presiden Institut Riset Ekonomi IFO, Hans-Werner Sinn sebagaimana dilansir The Guardian mengatakan, pemotongan suku bunga ke batas merah mungkin akan membantu pasar saham, tetapi pemotongan ini juga memicu pelarian dalam uang tunai.
Ini artinya, pemotongan suku bunga dapat memicu inflasi yang apabila tidak dikendalikan, dapat merusak daya beli masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan The Fed ini juga dianggap belum terlihat ampuh menghadapi Covid 19.
Begitupun halnya dengan Indonesia, cenderung masih kesulitan menerapkan kebijakan ekonomi yang tepat dalam menjaga stabilitas pasar modal dan perekonomian Indonesia. Namun tetap saja, pemerintah harus terus memberikan stimulus-situmulus positif untuk setidaknya meminimalisir dampak guncangan itu.
Kebijakan yang sudah diambil Indonesia dalam perang menghadapi Covid-19 ini diantarannya adalah pemotongan suku bunga acuan oleh BI hingga ke angka 4,5% dan masih memungkinkan akan diturunkan kembali mengingat tekanan inflasi yang tidak begitu tinggi.
Sementara itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu penanggulangan Covid-19 dengan alokasi anggaran sebesar 405,1 triliun rupiah. Anggaran yang cukup fantastis ini diharapkan dapat terserap, dimaksimalkan, dan diawasi agar terhindar dari penyelewengan.
Di sisi lain, sebaik apapun kebijakan pemerintah tidak akan berdampak apabila tidak didukung oleh prilaku masyarakatnya. Dalam hal ini, masyarakat harus tetap tenang, menjaga optimisme, serta mematuhi imbauan pemerintah.
Jangan sampai meremehkan penularan karena semakin banyak penularan akan menambah panjang kondisi ketidakpastian dan memperdalam kerusakan perekonomian. Sudah saatnya perusahaan, investor lokal, pemerintah, dan masyarakat mengambil peran. Mari saling berkolaborasi dan meneriaki Covid 19 dengan kata ‘Lawan’.***
Penulis: Dr Iin Rosini SE MSi
Dosen Universitas Pamulang