KUNINGAN (MASS) – Momen Idul Adha terkadang kita hanya terfokuskan pada ceremonial sholat i’ed dan pemotongan hewan kurban semata.
Pada tulisan kali ini saya mencoba sedikit mengupas makna yang terkandung dalam peristiwa yang agung dan bersejarah ini tentang kesuksesan nabi Ismail.
Dimana ketaatan dan kepatuhan kepada bapaknya yang secara logika perintah tersebut tidak masuk akal dan tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Karena idul qurban atu idul adha ini bukan sebatas tulisan hablu minannas dan hablu minaallah saja, tetapi ada kekuatan moral dan nilai edukasi yang kuat yang berkelanjutan dan harus mencontohnya.
Selain bentuk ibadah, berkurban juga mengandung nilai-nilai pendidikan dan nilai sosial.
Namun yang sering terlupakan dalam catatan kisah nabi Ibrahim kepada anaknya (nabi Ismail) ialah pendidikan tauhid.
Pendididkan tauhid yang ditanamkan oleh siti Hajar yang juga merupakan istri nabi Ibrahim as yakni suatu pondasi yang sangat diutamakan semenjak ditinggalkan oleh sang suami.
Peran siti Hajar sering kali terlupakan dalam sejarah i’dul qurban (idul adha), kesuksesannya dalam mendidik dan menanamkan nilai uluhiyah dan nilai rubbubiyah kepada nabi Ismail merupakan salah satu kunci sukses dalam membentuk karakter pribadi muslim sehingga kesholihannya banyak dikisahkan didalam alquran.
Sosok Siti Hajar yang cerdas, sholihah dan pekerja keras adalah contoh ibu bagi segenap alam.
Bagaimana tidak, Ismail yang masih bayi ia rawat sendirian mengerahkan seluruh kasih sayang kepada anaknya hingga mendidik seorang diri hingga putranya menjadi pemuda dewasa yang sangat patuh padanya dan pada Rabb alam semesta.
Suatu ujian berat dan tak masuk logika datang menghampiri Ismail yang sekian lama baru bertemu lagi dengan ayahnnya.
Bukan oleh-oleh makanan yang ia dapatkan dari ayahnya, melainkan tugas dan ujian berat yang harus dia terima.
Ismail dipinta untuk disembelih oleh ayah kandungnya (nabi Ibrahim as) atas dasar perintah Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. Ash-Shofat ayat 101-102.
“Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.
Allah tahu dengan kadar iman seorang kekasihnya, tak mungkin Allah sembarangan memberikan ujian berat tersebut selain kepada Ismail as. Sikap ikhlas dan tawakal nabi Ismail as.
Merupakan sebuah proses tarbiyatul aulad (mendidik anak) yang dilakukan ibunya. Semua sifat terpuji nabi Ismail tidak lepas dari arahan dan sentuhan Siti Hajar.
Sosok siti Hajar yang tidak kenal lelah dalam memberikan kasih sayang, perhatian, kelembutan dan kesabarannya dalam memberikan nilai-nilai ketaatan kepada Allah swt menghasilkan sosok Ismail yang mulia.
Sifat matinul khuluq (akhlak yang kokoh) dan salimul aqidah (aqidah yang lurus) pada jiwa nabi Ismail seolah mengisyaratkan kepada kita bahwa nilai-nilai tauhid dan akhlak haruslah ditanamkan dan diutamakan sejak dini dalam mendidik anak.
Ibu adalah bagian yang terpenting dalam melangsungkan genarasi robbani (generasi yang unggul), sehingga apapaun jabatan seorang istri, apapun pekerjaannya adalah suatu keharusan dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Sebab kualitas seorang anak sangat dipengaruhi oleh sentuhan pendidikan dan pengajaran ibunya. Mengingat di era globalisasi dan emansipasi ini seorang ibu terkadang lepas tangan dari tanggung jawabnya menyerahkan sepenuhnya pengasuhan dan pendidikan anak diserahkan kepada seorang pembantu tanpa mengetahui perkembangan pengetahuan dan akhlaknya.
M. Thalib dalam bukunya yang ⁶ “50 pedoman mendidik anak menjadi sholih” menyatakan bahwa yang harus di pegang oleh para orangtua dalam mendidik anaknya ialah membiasakan anak dengan adab-adab Islam sehari-hari.
Sependapat dengan M. Thalib, Abdullah Nashihin Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul al Aulad fi al Islam” mengutarakn bahwa orang tua sebagai guru pertama dan utama bagi seorang anak.
Tentu harus mampu menanamkan hal mendasar pada diri anak pendidikan sosial berupa menanamkan dasar-dasar kejiwaan yang mulia.
Sebuah pepatah bahasa Arab mengatakan “Al Ummu Madrasatul Uula” (Ibu adalah sekolah pertama bagi anaanaknya).
Begitu pentingnya peranan seorang ibu dalam mendidik anak, tidak sedikit dalam catatan tinta emas sejarah Islam lahirnya seorang nabi dan tokoh-tokoh Islam tidak lepas dari peran ibunya.
Diantaranya, Siti Hajar mampu membesarkan dan mendidik nabi Ismail seorang diri dan berhasil menjadi anak yang bertaqwa dan bertawakal.
Siti Maryam yang Allah anugrahkan seorang anak tanpa punya suami sehingga didiklah nabi Isa as hingga menjadi seorang yang pintar dan teguh pendirian.
Kemduian kita mengenal sosok Siti Aminah ibunda dari nabi paling agung nan mulia Muhammad saw, baginda mulia sejak dalam kandungan sudah ditinggalkan oleh ayahandanya, otomatis Siti Aminah membesarkan dan mendidik seorang diri makhluk yang paling mulia, hingga buah dari pendidikannya Rasulullah dijuluki Al-Amiin.
Terkahir ialah Imam Syafii, seorang imam mazdhab yang sangat masyhur yang sedari kecil sudah yatim namun berkat kepiawaian ibunya yang cerdas mampu menjadi sosok yang sangat pintar dan a’lim.
Sejarah telah mengingatkan kepada kita bahwa catatan tinta emas para Ummul Mukminin/Ummul Anbiya merupakan referensi dalam konsep kesuksesan seorang anak.
Hal ini menunjukan bahwa pola pendidikan seorang ibu kunci utama kesuksesan seorang anak kelak. Wallahu’alam bishoab.***
Penulis: Sopian A Nugraha