KUNINGAN (Mass) – Tangis miris menemani malam tragis di Kota yang dicanangkan menjadi Kabupaten Pedidikan. Tersurat dalam almanak, Rabu 22 februari 2017, lepas pukul sembilan belas. Gawai dalam genggaman menjadi saksi dengan khidmat seraya mengucap selamat bahwa ‘Aku’ telah lebih kalian cintai daripada sebuah peradaban yang telah dibangun oleh moyang kita yang sekarang tak lagi dicintai oleh ‘tuanya’.
Alam Berteriak
Gema literasi dari bahasa ibu, atau gaung lisan guna kelestarian telah kandas oleh banyak kepentingan hal lain yang nampak lebih ‘seksi’ untuk dipandang dan dinikmati adanya. Retrospeksi mundur dari status quo kota ini pasca banjir melanda cilimus dan sekitarnya, yang nampaknya karena gagalnya pembangunan insfrastruktur oleh pemerintahan kuningan sedari dulu.
Padahal katanya, kata mereka, kata siapa saja. Kuningan adalah kabupaten pembangunan terbukti dengan cipta karyanya yang ‘banyak’. Bahkan eks pupuhu kuningan sempat dijuluki Bapak pembangunan. Nyatanya pembangunan tersebut tidak berbanding lurus dengan keadaan. “Less Quality” bangunan yang kurang berkualitas, perencanaan pembangunan yang nampak kurang matang dan terkesan dipaksakan mengakibatkan preseden yang buruk bagi masyarakat.
Salah satu buktinya ialah banjir yang terjadi di kuningan Utara tersebut. Saluran air yang seharusnya dapat mengalirkan air tidak dapat berfungsi dengan baik, penuh sampah, kecil, dan kotor.
Lain hal dengan banjir yang terjadi di kuningan timur. Pembenaran yang beredar adalah pendangkalan sungai, sampah dan lain-lain. Namun pernah kah kita berfikir bahwa dihulu sungai ada sesuatu terjadi? entah penebangan liar, entah penggalian, entah pemburuan liar dan lain sebagainya yang sangat merusak tatanan alam.
Sangat mirip dengan longsor Cimeong, yang beredar ialah tentang daerah yang memang rawan (layak) longsor. Namun andai saudara – saudara ketahui diatas sana telah terjadi penebangan yang disengaja sehingga membuat daerah dibawahnya jadi tak memiliki kekuatan untuk menahan tanah. Jelas disini sengaja dibentuk opini bahwa memang disana sudah selayaknya terjadi hal demikian.
Perusahaan umum perhutani atau instansi yang berhubungan lingkungan hidup, kehutanan & perkebunan patut bertanggung jawab dalam hal ini. Melihat apakah ‘lahanya’ cukup aman? cara kerja para pegawainya sudah sesuai dengan standar operasional atau sudahkah programnya sesuai sasaran?
Dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat menggali hal pokok akar masalah agar manusia dan alam dapat hidup berdampingan dengan damai. Bukan malah meratapi penderitaan yang terjadi, yang telah dialami akibat dari tangan–tangan jahil yang tidak bertanggung jawab.
Politik hiburan di segala bidang
Politik juga tak kalah heboh menenggelamkan peringatan akan kecintaan terhadap bahasa Ibu. Isu yang berkembang sudah mulai merangsek masuk kedalam pengenalan politikus muda, baru atau sarat pengalaman kepada hal layak yang katanya nanti akan memimpin kota ‘pencanangan’.
Dicanangkan jadi kabupaten pendidikan, dinamai kabupaten konservasi. Namun geraknya, ruangnya belum cukup untuk dilabeli demikian. Sejauh mana program pemerintah mendukung pendidikan agar pembangunan manusianya lebih paripurna, baik dari fasilitas infrastruktur maupun suprastruktrurnya?
Sejauh mana profesionalisme para pendidik (guru) yang sesuai standar di era milenial? atau jua sebanyak apa terbitan jurnal ilmiah para mahaguru (dosen) dalam sepak terjangnya sebagai ‘scholar’? menilik lebih dalam lagi. sudahkah sejahtera para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa? atau yang harus mafhum lagi sudahkah gelar–gelar sarjana, master dan doktor diraih dengan cara yang benar sesuai dengan peruntukanya guna memberikan pencerahan?
Semua pertanyaan ini, Saya sangat yakin belum bisa dijawab dengan kata YA. Dengan program yang belum jelas saya khawatir Kuningan lebih dikenal dengan Kabupaten Pencanangan.
“Basa indung nu urang, basa sunda – urang mumule – wanohkeun – tur prak pake jadi basa sapopoe seke seler urang sunda.
Basa sunda – kamari nu walagri – kiwari katalangsara – yu jaga sing waluya – mawa rasa reueus pikeun urang sunda”
Dinar Pakuwon
Dua premis besar diatas tentang alam dan politik seakan telah mengalihkan dunia semua orang bahwa pada tanggal 21 Februari tidak ada momen istimewa. Baik dari pemerintah maupun publik secara umum. Padahal Data Unesco menunjukkan, ada 6.000 Bahasa Indung (Bahasa Ibu) di dunia. Setengahnya akan punah karena dalam dua minggu satu Bahasa Indung mati.
Kematian Bahasa Indung terjadi karena sudah tidak digunakan lagi oleh para penuturnya. Ada apa di 21 februari ini? tentunya bukan valentine, bukan pula pilkada, atau sidang penistaan agama, pun banjir disana sini. ini tentang peradaban, tentang pendidikan, tentang bahasa yang saat ini sedang sekarat.
Tidak ada gebrakan dari pemerintah yang sangat bertanggung jawab akan pelestarian bahasa Ibu untuk berusaha menunjukan bahwa kita sangat mencintai & peduli terhadap bahasa ibu kita, yakni bahasa sunda. Apakah perubahan SOTK dan mutasi pegawai mengakibatkan pemerintah (dinas pendidikan & kebudayaan) lemah dan kurang cakap dalam mengambil momentum terbaik ini. Saya rasa ini hanya tentang awareness atau Kesadaran para pemangku kebijakan yang masih belum bisa menomor satukan pembangunan manusia (pembangunan peradaban).
Seharusnya momentum ini dijadikan ajang titik tonggak pelestarian bahasa ibu yang nampaknya semakin ditinggalkan oleh penuturnya. Ajang merancang kebijakan yang aplicable dapat diterapkan antara bahasa sunda dengan seluruh aspek kehidupan. Harus ada integrasi antara penggunaan bahasa ibu dengan kebijakan pemerintah. Bukan seperti status quo saat ini dimana pemerintah nampak hare–hare, rineh dengan keadaan yang ada.
Berilah ruang literasi kepada para nonoman kuningan untuk berekspresi dan mencintai bahasa sunda sejak dini! Dukung program-program yang bernafaskan literasi. jika tidak demiklian selamat menyaksikan basa indung tinggal tungtung.
Penulis: Direktur Program Lembaga Penelitian Kuningan Institut, Duta Bahasa Nasional 2013 sekaligus Pituin Kuningan, Ageng Sutrisno Wisanggeni Wicaksono.