KUNINGAN (MASS) – Pernyataan Ketua Satgas Makan Bergizi Gratis (MBG) Kabupaten Kuningan yang menyebut “tidak apa-apa seporsi MBG di bawah Rp10.000, karena sesuai at cost” patut disayangkan dan perlu diluruskan secara logis maupun normatif.
Alasan “at cost” memang terdengar efisien, tetapi jika tidak dijelaskan secara transparan, justru menjadi pintu pembenaran atas turunnya kualitas gizi dan mutu program.
1. MBG Bukan Soal Harga, Tapi Soal Mutu
Program Makan Bergizi Gratis dibentuk bukan untuk sekadar mengenyangkan perut anak-anak, tetapi untuk memenuhi standar gizi seimbang dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Dalam pedoman Program Makan Bergizi Gratis yang dikeluarkan Badan Gizi Nasional (BGN) bersama Kementerian Kesehatan dan Kemendagri, ditegaskan bahwa setiap porsi harus memenuhi standar gizi seimbang: mengandung karbohidrat, protein hewani, nabati, sayuran, dan buah.
Pertanyaannya: apakah dengan biaya Rp7.000–Rp8.000 per porsi, standar itu masih terpenuhi?
Jika kualitas bahan turun demi menyesuaikan “at cost”, maka arah program MBG justru bergeser — dari “makan bergizi” menjadi “makan semampunya”.
2. “At Cost” Harus Diikuti Transparansi Biaya
Pernyataan bahwa harga mengikuti biaya aktual (at cost) seharusnya disertai rincian terbuka:
Apakah Rp8.000 itu sudah termasuk biaya bahan, tenaga masak, sewa tempat, transportasi, sanitasi, dan kemasan?
Tanpa penjelasan ini, publik sulit membedakan mana efisiensi, mana penghematan yang mengorbankan mutu.
Lebih jauh lagi, masyarakat masih mengingat arahan awal pemerintah daerah bahwa biaya MBG dianggarkan sebesar Rp15.000 per porsi — Rp10.000 untuk makanan, Rp3.000 untuk operasional, dan Rp2.000 untuk sewa fasilitas dapur.
Jika kini hanya Rp8.000 yang disebut “at cost”, maka harus dijelaskan: ke mana selisih dari komponen lainnya?
3. Tidak Ada Regulasi yang Menghapus Kewajiban Standar Gizi
Permendagri No. 14 Tahun 2025 memang memberi ruang kepada daerah untuk menyesuaikan kemampuan fiskal. Namun tidak ada satu pasal pun yang memperbolehkan pemerintah daerah menurunkan standar mutu gizi atas nama efisiensi.
Justru sebaliknya, Permenkes No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang menegaskan bahwa penyediaan makanan bergizi bagi anak sekolah wajib memenuhi kandungan gizi minimal yang terukur.
Jadi, meski angka Rp10.000 tidak diatur sebagai “harga nasional baku”, semangat kebijakan nasional MBG tetap jelas: tidak boleh ada kompromi terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan.
4. Kuningan Harus Jadi Contoh, Bukan Alasan
Kabupaten Kuningan dikenal sebagai daerah dengan potensi pangan lokal yang kuat.
Ironis jika program makan bergizi justru dikaitkan dengan penghematan biaya, padahal bahan pangan lokal—dari telur, sayur, tempe, tahu, hingga beras—melimpah dan bisa dioptimalkan melalui kerja sama BUMDes dan UMKM desa.
Mengapa bukan efisiensi berbasis produksi lokal yang diangkat, melainkan pengurangan nilai gizi per porsi?
5. Akuntabilitas Moral dan Politik
Program MBG bukan sekadar proyek sosial, tapi kontrak moral antara pemerintah dan rakyat.
Ketika publik diberitahu bahwa seporsi MBG bisa di bawah Rp10.000 tanpa penjelasan detail, maka kepercayaan terhadap program publik ikut terkikis.
Apalagi, anggaran MBG Kuningan berasal dari dana daerah sekitar Rp20 miliar—uang rakyat yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan yang layak.
Sebaiknya Satgas MBG tidak sekadar berargumen “tidak apa-apa, sesuai at cost”, tapi berani membuka data biaya, komposisi menu, dan hasil uji gizi harian. Transparansi bukan ancaman, melainkan jalan menuju kepercayaan.
Dan bagi Kabupaten Kuningan yang sedang berupaya menata moral anggaran, keterbukaan itulah gizi terbaik bagi demokrasi.***
Penulis : Dadan Satyavadin (Pemerhati Kebijakan)









