KUNINGAN (MASS) – Ditengah ledakan transaksi digital yang mendisrupsi hampir semua sektor, pertanyaan mendasarnya sederhana: mengapa hingga hari ini banyak pedagang di e-commerce Indonesia bisa dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya?
Mengapa sektor yang tumbuh pesat ini tidak otomatis berkontribusi proporsional terhadap penerimaan negara, padahal jutaan transaksi berlangsung tiap hari di platform seperti Tokopedia, Shopee, hingga TikTok Shop?
Dibalik gegap gempita promosi dan checkout kilat itu, pemerintah Indonesia menghadapi dilema klasik: bagaimana memajaki sektor yang tak kasat mata, sangat cair, dan tak terikat lokasi fisik?
Lebih rumit lagi, bagaimana mendesain model perpajakan yang adil bagi semua—bukan hanya pedagang besar, tapi juga jutaan pelapak kecil dan UMKM digital?
Persoalan ini bukan milik Indonesia semata.
Hampir semua negara sedang mencari formulasi serupa, bagaimana menata ulang sistem pajak yang lahir di era industri agar tetap relevan di era digital.
Pertanyaannya bukan lagi apakah e-commerce harus dikenakan pajak, tapi bagaimana cara paling efektif dan berkeadilan untuk melakukannya.
Bayangkan Anda masuk ke sebuah pusat perbelanjaan besar.
Ada ribuan toko di dalamnya, menjual apa saja dari pakaian, makanan, hingga jasa desain.
Tapi anehnya, ketika ditanya siapa yang bayar pajak, tak satu pun bisa menunjukkan NPWP atau bukti setor. Inilah situasi yang terjadi di sebagian besar platform e-commerce hari ini.
Platform seperti marketplace sebenarnya bertindak layaknya mal digital.
Mereka menyewakan etalase, memfasilitasi transaksi, dan mengatur pembayaran.
Namun berbeda dengan mal konvensional, para tenant online ini seringkali anonim secara fiskal. Mereka mungkin terdaftar secara bisnis, tapi tidak secara perpajakan.
Bahkan sebagian besar pedagang kecil tidak tahu bahwa omzetnya sudah melewati ambang batas pengenaan pajak.
Pemerintah pun akhirnya kesulitan menarik kewajiban fiskal dari pelaku usaha digital.
Di sisi lain, tekanan untuk meningkatkan penerimaan negara terus membesar, terlebih dalam situasi pasca-pandemi yang menuntut perluasan basis pajak.
Maka lahirlah ide: kenapa tidak menjadikan platform sebagai perantara pajak?
Jika kita sulit mengejar ribuan pedagang satu per satu, bukankah lebih efisien memungut dari satu titik, yakni si penyedia platform?
Membidik Platform: Solusi atau Perangkap?
Beranjak dari logika efisiensi itu, banyak negara kini mulai menjadikan platform e-commerce sebagai agen pajak.
Dalam skema ini, platform diposisikan sebagai pemungut—mereka memotong langsung pajak penghasilan atau PPN dari tiap transaksi yang terjadi di dalam sistem mereka, lalu menyetorkannya ke kas negara.
Tidak perlu lagi menunggu pelaku usaha datang sendiri ke kantor pajak.
Langkah ini memang menjanjikan. Uni Eropa, India, bahkan Amerika Serikat, telah melangkah lebih jauh dengan konsep “deemed supplier” atau “marketplace facilitator”.
Artinya, bagi otoritas pajak, platform dianggap sebagai pihak yang secara hukum bertanggung jawab atas kewajiban perpajakan penjual.
Namun model ini bukan tanpa risiko.
Pertama, beban administratif berpindah dari pelaku usaha ke platform.
Bayangkan sebuah marketplace harus memotong pajak dari jutaan transaksi harian, menyusun laporan rinci, dan menghadapi potensi audit untuk setiap kesalahan kecil.
Kedua, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dari UMKM digital yang merasa tiba-tiba harus membayar pajak tanpa pemahaman atau kesiapan yang memadai.
Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini bisa mendorong perpindahan aktivitas ke luar sistem formal—ke media sosial, group chat, hingga transaksi tunai antar pengguna.
Alih-alih meningkatkan kepatuhan, sistem pemungutan berbasis platform justru bisa menciptakan ekonomi bawah tanah digital yang sulit dilacak.
Banyak negara mencoba berbagai resep. Di India, platform seperti Amazon dan Flipkart diwajibkan memotong 1% dari omzet penjual sebagai TCS (Tax Collected at Source).
Di Uni Eropa, platform dianggap sebagai “penjual semu” dan harus menarik VAT dari semua barang impor di bawah €150.
Di Kenya, bahkan ada pajak 3% atas semua pendapatan digital yang dikenakan kepada perusahaan teknologi global.
China mengambil jalur berbeda: mereka tidak langsung memaksa platform memotong pajak, tetapi mewajibkan mereka melaporkan data penjual secara real-time.
Pemerintah Tiongkok mengandalkan kecanggihan sistem e-faktur dan big data untuk mencocokkan data pembayaran dengan pelaporan pajak.
Singapura dan Australia, di sisi lain, memilih pendekatan bertahap dengan memberikan edukasi dan insentif agar pelaku usaha digital mau masuk sistem pajak.
Setiap model punya kelebihan dan kekurangan. Negara maju biasanya unggul di infrastruktur digital dan literasi pajak.
Negara berkembang seperti Indonesia harus ekstra hati-hati. Penerapan sistem pajak otomatis tanpa kesiapan bisa seperti membangun jalan tol tanpa rambu: alih-alih mempercepat, malah menciptakan kecelakaan fiskal massal.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Pemerintah Indonesia tengah merumuskan kebijakan baru: memungut pajak penghasilan final sebesar 0,5% langsung melalui platform e-commerce dari para pedagang dengan omzet tertentu.
Ini adalah kelanjutan dari Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2018 yang sebelumnya memberi tarif ringan bagi UMKM.
Bedanya, kali ini pungutan dilakukan secara otomatis di titik transaksi.
Di satu sisi, kebijakan ini bisa menutup celah penghindaran.
Tapi di sisi lain, perlu dipertimbangkan apakah para pedagang telah memiliki kesadaran fiskal yang cukup.
Apakah sistem pelaporan platform telah cukup andal? Bagaimana jika pedagang memiliki multi-platform, bagaimana agregasi omzet dan tarifnya diatur?
Dan yang terpenting: apakah pendekatan ini adil? Mengapa pelaku offline harus lapor dan hitung pajak sendiri, sementara pelaku online langsung dipotong tanpa proses?
Jangan sampai keinginan untuk efisiensi berujung pada ketimpangan baru antar pelaku usaha.
Indonesia juga harus memikirkan nasib pelaku usaha mikro.
Jangan sampai pajak mematikan semangat wirausaha digital yang baru tumbuh.
Perlu ada threshold yang wajar, insentif transisi, serta edukasi massal agar pelaku e-commerce memahami kewajiban fiskalnya, bukan sekadar menerima pemotongan yang dirasa sepihak.
Mengubah Pajak Menjadi Mitra Digital
Kunci utama keberhasilan pajak e-commerce terletak bukan pada seberapa besar tarifnya, tapi seberapa bisa sistemnya dipercaya dan dipahami.
Perpajakan bukan sekadar pemotongan, tapi relasi antara negara dan warga. Dalam dunia digital, relasi itu harus dibangun ulang, dengan semangat kolaboratif, bukan koersif.
Platform harus dilibatkan sejak awal dalam desain kebijakan.
Mereka bukan sekadar alat pemungut, tapi mitra negara dalam membangun ekosistem ekonomi digital yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum, insentif data sharing, dan penghargaan kepada platform yang patuh dan proaktif.
Sebaliknya, sanksi tegas harus diterapkan bagi mereka yang tidak kooperatif.
Teknologi juga harus menjadi tulang punggung. Indonesia harus mempercepat adopsi e-faktur, pelaporan otomatis, dan integrasi data transaksi e-commerce dalam sistem pajak nasional.
Investasi di sistem perpajakan digital sama pentingnya dengan pembangunan jalan tol atau bendungan, karena masa depan penerimaan negara kini bergantung pada sistem yang tidak terlihat.
Key Word Untuk Pemerintah: Pajak Digital, Ekosistem Digital
Pajak e-commerce bukan hanya soal memungut lebih banyak dari yang sedang berkembang. Ini tentang menciptakan kesetaraan fiskal antara yang konvensional dan digital, antara yang besar dan kecil, antara yang lokal dan global.
Pajak harus menjadi instrumen pemerataan, bukan sekadar pemasukan.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih jalan yang represif—memaksa tanpa kesiapan—atau jalan yang cerdas: membangun sistem pajak digital yang inklusif, transparan, dan berbasis kepercayaan.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa perpajakan e-commerce paling efektif bukan yang paling keras, tapi yang paling cerdas.
Tugas kita adalah membangun sistem yang membuat patuh itu mudah, bukan menakutkan.
Pajak yang adil bukan hanya soal tarif, tapi soal tata kelola yang menjangkau, merangkul, dan mengajak pelaku digital untuk turut serta membangun negeri.
KUNINGAN (MASS) – Total Factor Productivity (TFP) adalah faktor utama yang menentukan seberapa efisien suatu negara dalam mengkonversi input produksi menjadi output ekonomi. Dalam konteks...
KUNINGAN (MASS) – Kasus impor gula di Indonesia menjadi sorotan tajam karena berpotensi untuk membuka jalan bagi kriminalisasi pejabat publik yang terlibat dalam pengaturan...
KUNINGAN (MASS) – Imbauan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mengganti penyiaran Azan Magrib di...
KUNINGAN (MASS) – Pembentukan kementerian baru oleh Prabowo Subianto memicu perdebatan di kalangan politik dan publik. Meskipun ada argumen yang mendukung, beberapa alasan kuat...
KUNINGAN (MASS) – Pernyataan tajam dan kontroversial dari Rocky Gerung (RG) tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan masyarakat. Segelintir orang meminta agar...
KUNINGAN (MASS) – Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi mensahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan menjadi undang-undang kemarin Selasa, 11 Juli 2023 Sidang DPR tersebut...
KUNINGAN (MASS) – Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan kajian bahwa ada 5,3 juta ton bijih nikel (nickle ore) telah di ekspor secara ilegal ke China....
KUNINGAN (MASS) – Kemudahaan bebas Visa yang awalnya diberikan kepada 11 negara dan tahun 2016 diberikan kepada 169 negara melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia...
KUNINGAN (MASS) – Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pada selasa (13/6) menyampaikan bahwa Maskapai Garuda Indonesia diminta menyediakan 80 kursi business class buat...
KUNINGAN (MASS) – Pada hari Jumat 9 Juni 2023 Narasi Institute mengadakan zoominari yang membahas terkait Quo Vadis Keberlanjutan Tata Kelola Pasir Laut dan...
KUNINGAN (MASS) – Alasan publik harus tolak kebijakan ekspor pasir laut karena dengan ekspor pasir laut tersebut Pemerintah sedang membahayakan ketahanan nasional dan kebijakan...
Pesan Tersirat Presiden Merupakan Ancaman Demokrasi KUNINGAN (MASS) – Banyak analis yang mengulas bahwa Penahanan Johnny G Plate juga artinya memberikan sinyal kepada para...
JAKARTA (MASS) – Reformasi memasuki usia 25 tahun. Perubahan dari rezim otoriter ke rezim reformasi sudah berjalan sejak 1998-2023 tersebut diwarnai banyak warna. Ada...
JAKARTA (MASS) – Melihat dinamika demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini tampak semakin mundur dan mengkhawatirkan. Publik dapat lihat dari manuver-manuver politik saling menjegal dan...
KUNINGAN (MASS) – Nama Bambang Pacul tiba tiba mencuat ke publik ketika potongan videonya dalam rapat RDP antara Komisi 3 DPR RI dengan Menkopolhukam...
KUNINGAN (MASS) – Achmad Nur Hidayat yang dikenal sebagai Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik yang aktif mengkritisi kebijakan-kebijakan publik memutuskan untuk mundur dari partai...
KUNINGAN (MASS) – Bulan Ramadhan adalah bulan dimana ummat Muslim seluruh dunia bersama sama melaksanakan ibadah puasa dari pagi hingga Maghrib dan malamnya melaksanakan...
KUNINGAN (MASS) – Beberapa waktu yang lalu Menkopolhukam Mahfud MD mengeluarkan pernyataan yang menggemparkan publik dimana Mahfud MD menyampaikan bahwa di Kementerian Keuangan telah...
KUNINGAN (MASS) – Bupati dapat nilai D. Hal itulah yang diutarakan Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik nasional asal Kuningan dalam Gatering...
KUNINGAN (MASS) – Polemik terkait pengambil alihan pengelolaan waduk Darma Kuningan oleh Pemprov Jawa Barat dari Pemda Kuningan terus bergulir. Muncul 2 kelompok terkait...
KUNINGAN (MASS) – Polemik terkait penguasaan waduk Darma yang berpindah dari tangan PemKab Kuningan kepada Pemprov Jawa Barat masih terus bergulir. Hal utamanya adalah...
KUNINGAN (MASS) – Waduk Darma yang terletak di daerah Darma Kuningan Jawa Barat selama 11 tahun ini dikelola oleh PemKab Kuningan dan menjadi tambahan...
KUNINGAN (MASS) – Tokoh Nasional, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat (ANH) berkunjung ke kantor redaksi Kuningan Mass di Jalan Moch Yamin...