KUNINGAN (Mass) – Momentum sejarah pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru terkait Surat Perintah Sebelas Maret tepatnya 11 Maret 1966 lalu atau lebih dikenal dengan istilah Supersemar, mendapat tanggapan beragam dari para aktivis Kabupaten Kuningan. Bahkan, sebagian aktivis menganggap bukti otentik soal Supersemar yang hingga kini masih menjadi perdebatan harus benar-benar menjadi perhatian serius pemerintah, agar segera dituntaskan.
Ketua Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Kuningan, Imma kepada awak media, Minggu (13/3), menyampaikan bahwa, dari hasil kajian dan diskusi yang dilakukan GMNI atas sejarah Supersemar itu menjadi salah satu bentuk pengkhiatan sejumlah pihak, terhadap pemimpin bangsa.
“Dari tulisan-tulisan dan kajian kami yang baru-baru ini, jelaslah kiranya bahwa Suharto (mantan presiden RI ke 2, red) dan kawan-kawan ketika itu, seperti Angkatan Darat dengan dukungan berbagai golongan reaksioner dalam negeri dan luar negeri, telah menjadikan Supersemar sebagai puncak pembangkangan, pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno,” katanya.
Pembangkangan, pemboikotan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno ini lanjut Imma, didahului dengan pembunuhan besar-besaran terhadap kurang lebih tiga juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar dua juta orang tidak bersalah, sekaligus penyebaran teror di seluruh negeri.
“Ini semua dilakukan oleh golongan militer terutama Angkatan Darat pada masa itu, tanpa persetujuan presiden Sukarno,” tandasnya.
Kemudian kata Imma, sesudah peristiwa Supersemar itu pembangkangan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno dilanjutkan dengan langkah-langkah Suharto dan lainnya, yakni dengan cara membersihkan MPRS dan DPR-GR dari golongan pro PKI dan pro Bung Karno. Sehingga, MPRS bisa sepenuhnya dikuasai dan dimanipulasi oleh Suharto dan kawan-kawan.
“Dari segi ini dapatlah kiranya kita katakan dengan tegas bahwa, Supersemar telah mencelakakan bangsa dan negara. Tapi, semua itu kita hargai sebagai sejarah yang harus dimurnikan,” tegasnya.
Sebab, pihaknya berpendapat bahwa, peristiwa itu sangat memilukan karena Proklamator sekaligus Bapak Bangsa (Soekarno,red) menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri. Pemerintah Indonesia pada hari ini punya kewajiban besar untuk memurnikan ‘bagian yang hilang’ agar tidak terus menerus terjadi pembodohan sejarah,” pintanya.
Tak jauh berbeda dengan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kuningan, Rasdi yang menilai bahwa, Supersemar hingga saat ini terus menjadi misteri akan keabsahanny. Peristiwa itu adalah bagian terbesar dari sejarah bangsa Indonesia, dan peristiwa itu pula yang mengawali serta mencetak rezim baru nan otoriter.
“Saya mengingatkan kepada pemuda untuk lebih jeli dan mendalam melihat surat supersemar tersebut. Sebab, disini pula telah terjadi sebuah misteri yang akan terus berada di ruang gelap karena orisinalitas peristiwa terus menjadi pro kontra, dan kami berupaya mendiskusikannya agar kematian intelektual tidak terjadi di negeri ini,” ucapnya.
Menurutnya, sebagai generasi penerus bangsa khususnya bagi kalangan mahasiswa harus mampu menilai objektif dan mengoreksi cara berpikir kaum orde baru. Penggunaan supersemar yang dilakukan oleh soeharto sebagai landasan hukum pembubaran PKI, penangkapan sejumlah menteri yang dianggap terlibat G30SPKI, dan perombakan keanggotaan MPRS, pada akhirnya melahirkan Tap MPRS nomor IX/MPRS/1996.
“Saya pribadi memakai Gus Dur sang Guru Bangsa Al Alim Allamah, yang dengan besar hati dan pikiran jernih mengajari bangsa ini untuk bersikap jujur dan adil melihat sejarah bangsanya, bangsa ini tak akan sehat sebelum mampu jujur dan melepas beban luka sejarahnya. Supersemar itu akan terus menjadi pro-kontra, jadi yang harus dilihat oleh kita sekarang sebagai manusia yang lahir jauh dari itu, imbas dari supersemar itu sendiri. Apakah supersemar menjadi surat untuk kebaikan bangsa,apakah penderitaan bangsa,” terangnya.
Sementara Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kuningan, Tommi Mustopa menuturkan, hingga saat ini memang Supersemar itu masih misteri dan tentunya kontroversi.
“Jika memang Soekarno memberikan Supersemar, ada satu hal setelah terjadinya peristiwa itu yakni munculnya surat keputusan presiden berisikan pembubaran PKI dan organisasi sayapnya, dan menurut kacamata psikologi itu ada motif,” ujarnya.
Apalagi kata Tommi, bukti-bukti kejadian Supersemar itu sudah mulai menemui titik terang dengan siapa saja yang terlibat dibalik semua itu dan tidak pula terlepas dari kejadian perang dunia kedua.
“Namun, satu hal yang penting dari sejarah adalah mengambil pelajaran. Pertama ajaran politik liberal yakni semua cara halal dalam politik itu tidak dibenarkan. Kedua kekerasan atas nama apapun termasuk keyakinan itu juga tidak dibenarkan,lalu taqlid buta terhadap ajaran atau perintah itu sangat berbahaya bahkan bisa keliru pada akhirnya,” sebutnya.
Untuk terakhir, Tommi berpendapat bahwa, pelajaran yang harus diambil yaitu harus mempelajari pemahaman kembali terhadap nilai-nilai Pancasila untuk ditingkatkan, terutama nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang beradab.(red)