KUNINGAN (MASS) – Dalam era digital yang terus berkembang, kecerdasan buatan (AI) telah membawa revolusi besar ketika peserta didik belajar dan memperoleh informasi. Teknologi ini semakin banyak digunakan dalam dunia pendidikan, mulai dari aplikasi pembelajaran berbasis AI, chatbot tutor pintar, hingga sistem penilaian otomatis yang menggantikan tugas guru. Kemajuan ini tentu membawa dampak signifikan terhadap kebiasaan belajar peserta didik. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah peserta didik menjadi lebih pintar dengan adanya AI, atau justru semakin bergantung pada teknologi sehingga menghambat kemampuan berpikir mandiri mereka?
Di satu sisi, kehadiran AI dalam dunia pendidikan telah memberikan banyak manfaat bagi siswa. Teknologi ini memungkinkan akses ke berbagai sumber belajar dengan cepat dan efisien, membantu dalam memahami konsep-konsep yang sulit dengan cara yang lebih interaktif dan personal. Aplikasi berbasis AI seperti ChatGPT, Grammarly, dan Duolingo, misalnya, telah membantu peserta didik dalam menyusun esai, memahami tata bahasa, dan bahkan mempelajari bahasa asing dengan lebih efektif. AI juga memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi, di mana peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan dan gaya mereka sendiri, tanpa harus bergantung pada jadwal sekolah yang kaku.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa penggunaan AI yang berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan yang berlebihan. Banyak peserta didik yang mulai mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka tanpa benar-benar memahami konsep di baliknya. Sebagai contoh, banyak peserta didik yang menggunakan AI untuk menyelesaikan soal matematika dengan cepat tanpa berusaha memahami proses penyelesaiannya. Selain itu, dengan kemudahan yang diberikan AI, kemampuan berpikir kritis dan kreativitas peserta didik bisa menurun karena mereka lebih sering menerima jawaban instan daripada mencari solusi sendiri.
Tantangan lain yang muncul, seperti berkurangnya interaksi sosial antara peserta didik dan guru. Dalam pendekatan pembelajaran konvensional, guru tidak hanya berperan sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu peserta didik mengembangkan keterampilan sosial dan etika belajar yang baik. Namun, dengan AI yang mengambil alih banyak tugas pembelajaran, interaksi manusia dalam proses belajar bisa semakin berkurang.
Maka dari itu, diperlukan keseimbangan dalam penggunaan AI dalam pendidikan. AI seharusnya tidak menggantikan peran guru atau menggantikan usaha peserta didik dalam belajar, melainkan menjadi alat bantu yang mendukung proses pembelajaran. Guru dan orang tua harus berperan aktif dalam membimbing peserta didik untuk menggunakan AI dengan bijak, memastikan bahwa mereka tetap berusaha berpikir mandiri dan mengembangkan keterampilan kognitif mereka.
Pada akhirnya, apakah peserta didik menjadi lebih pintar atau lebih ketergantungan sangat bergantung pada cara mereka memanfaatkan teknologi ini. Jika digunakan dengan baik, AI dapat menjadi alat yang luar biasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan membuka peluang belajar yang lebih luas. Namun, jika tidak diawasi dengan baik, AI juga bisa menjadi pisau bermata dua yang membuat peserta didik lebih malas dan kehilangan kemampuan berpikir kritis mereka. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak baik peserta didik, guru, maupun orang tua untuk memahami bagaimana menggunakan AI dengan bijak agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal tanpa menimbulkan dampak negatif.
Oleh: Nida Rahmadhani dan Dr. Muhammad Minan Chusni, M.Pd.Si.
