KUNINGAN (MASS) – Bisa bertahan di mana pun, cepat menyesuaikan diri, dan terbuka terhadap berbagai ajaran. Karakter ini melekat pada masyarakat Kuningan. Tapi muncul pertanyaan tajam: apakah ini bentuk toleransi sejati atau tanda bahwa identitas keagamaan mereka rapuh? Dalam podcast Kuningan Mass, pejabat Kemenag RI mengupas sisi filosofis dari sikap adaptif yang sering jadi kebanggaan daerah.
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, disebut sebagai salah satu wilayah paling adaptif terhadap keberagaman agama. Namun dalam podcast Kuningan Mass, Dedi Slamet Riyadi mengajak publik untuk merenung: apakah sikap terbuka itu bentuk kearifan, atau sebenarnya ketidakjelasan prinsip keagamaan?
Dedi mencontohkan di Kuningan, banyak ormas keagamaan hidup berdampingan, mulai dari NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, dan lainnya. Tapi militansi atau komitmen terhadap satu identitas seringkali longgar.
“Hari ini di Gerindra, besok di PDI. Di ormas juga begitu. Tidak ada keterikatan kuat. Adaptif, tapi bisa jadi kehilangan arah,” jelasnya.
Masyarakat Kuningan disebut mampu menerima aliran atau ajaran baru, selama tidak mengganggu “periuk nasi” atau keimanan pribadi. Namun jika semua bisa diterima, di mana batas yang dijaga?
“Kalau punya kemampuan menyembuhkan atau meramal, bisa jadi punya padepokan sendiri. Itu budaya Kuningan. Akomodatif, tapi bisa jadi permisif,” katanya.
Di era kebebasan beragama yang luas, adaptif adalah aset. Tapi tanpa prinsip yang jelas, masyarakat bisa terombang-ambing oleh tren dan tekanan luar. Kuningan merupakan contoh hidup dari dilema itu. Ketika keberagaman jadi kekuatan, tapi juga bisa jadi titik lemah jika tidak diiringi pendalaman nilai. (argi)
Selengkapnya, yuk tonton podcastnya di bawah ini :
