KUNINGAN (MASS) – Gelombang Covid-19 di Indonesia semakin menggila. Tercatat per hari bisa mencapai 100 kasus yang positif. Ini menunjukkan bahwasannya kasus Covid-19 sudah tak terkendalikan. Maka, sederet kebijakan pun diambil demi menekan lonjakannya.
Kebijakan yang kini tengah diterapkan yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Sebagai contoh, daerah Kuningan, Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dalam zona merah, sehingga ditetapkan PPKM darurat hingga 20 Juli mendatang. Tentu kebijakan ini harus dijalankan masyarakat dengan berbagi syarat pastinya.
Ya, salah satu syaratnya adalah pemberlakuan waktu buka toko atau supermarket hanya diizinkan dari pukul 06.00-14.00 WIB. Kemudian, adanya buka tutup jalan di beberapa titik wilayah. Semuanya dilakukan atas intruksi pemerintah pusat. Menurut Sekda Kuningan DR. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si. menjelaskan hasil rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan selaku koordinator penanganan Covid-19 di Jawa dan Bali bahwasannya telah terjadi penurunan mobilitas masyarakat. Hanya saja, belum mencapai targetnya (kuningankab.go.id, 12/07/2021).
Faktanya, jika dievaluasi kebijakan PPKM darurat telah meresahkan banyak kalangan masyarakat. Seperti, pedagang kaki lima yang tetap harus berjualan, namun terhenti dikarenakan takut dikenakan sanksi oleh aparat setempat. Belum lagi, toko kelontong yang banyak mempekerjakan karyawan harus rela tutup lebih awal dari biasanya karena keharusan taat pada aturan, dan sebagainya.
Maka, apa yang terjadi jika tak sesuai dengan harapan pemerintah? Tentu akan diberi sanksi berupa denda yang harus dibayarkan. Dan dendanya pun tak sedikit, tergantung pelanggarannya. Padahal, ketika pemilik toko tetap buka atau pedagang kaki lima berjualan melewati waktu yang ditetapkan, tentu tak lain pasti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau menggaji para karyawannya. Jika tak dilakukan, darimana mereka mendapatkan uang.
Itulah ironinya kebijakan PPKM darurat ini. Satu sisi memang ingin menekan laju penularan virus Covid-19, satu sisi mengorbankan hak rakyatnya. Sehingga, perlu berkoordinasi dengan rakyat agar tidak terjadi banyak pelanggaran yang terjadi.
Tegas Lakukan Lockdown
Hampir sudah dua minggu PPKM darurat diterapkan, tetapi belum bisa menekan angka laju Covid-19. Target yang diharapkan pemerintah, yaitu sekitar 50% mobilitas orang-orang di luar rumah. Namun, masih banyak pelanggaran yang mengharuskan mereka diberikan sanksi berupa denda. Menurut Kajari Kuningan L Tedjo Sunarno melalui Kasi Pidum Kejari Kuningan Agung Hari Indra Yudatama SH MH menyebutkan hingga tanggal 15 Juli uang yang terkumpul Rp 66.810.000. Ini terhitung dari 25 kasus pelanggaran yang diputuskan melalui sidang Tipiring (kuninganmass.com, 17/07/2021).
Sungguh jumlah yang fantastik untuk ukuran denda dan semuanya masuk kas negara. Maka, akan berapa kali lagi ditemukan pelanggaran? Bukankah mereka (baca: pedagang kecil atau toko) hanya berusaha mencari sedikit uang untuk kebutuhan sehari-harinya? Maka, tak bisa hanya menyalahkan rakyat, hanya karena tak taat aturan. Karena mereka pun tak mungkin menunggu belas kasihan pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhannya.
Ya, aturan sudahlah aturan, dimana senang atau tidak rakyat harus patuh. Namun, kondisi seperti ini sudah tidak sehat lagi jika terus dilakukan. Artinya, pemerintah akan melihat semakin banyak rakyat menjerit, dan akhirnya timbullah kejenuhan atas aturan yang berlaku. Perlu kebijakan yang tegas untuk menyelesaikan pandemi ini.
Menurut Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menyarankan kepada pemerintah pusat dan daerah agar menetapkan kebijakan lockdown alias karantina wilayah. Hanya saja masih ada sejumlah pihak ragu untuk mengambil kebijakan tersebut mengingat dampaknya yang akan sangat buruk bagi perekonomian. Salah satunya, disampaikan oleh Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri, lockdown ibarat obat keras yang punya efek samping. Yaitu melesetnya proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah yang pasti juga akan diikuti pertambahan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan baru. Akibatnya utang APBN semakin menumpuk, kemiskinan bisa bertambah, serta pengangguran bisa menembus dikisaran 8-9%.
Disamping itu, pemerintah harus menjamin kebutuhan hidup rakyatnya selama lockdown berlangsung. Dan yang terparah adalah perekonomian akan lumpuh sejenak. Inilah yang takkan sanggup dihadapi pemerintah. Padahal, hanya dengan karantina wilayah pandemi akan cepat berakhir.
Ya, karantina wilayah sendiri sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika menghadapi pandemi. Ini dibuktikan dari sebuah laporan media Amerika “Newsweek”, dimana penulisnya, Dr. Craig Considine mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah “yang pertama” menyarankan karantina kesehatan (lockdown) dan kebersihan diri dalam kasus pandemi.
Adanya karantina wilayah tentu menghindarkan dari penyebaran yang semakin meluas. Syaratnya warga di dalamnya tidak diizinkan keluar dan warga luar pun tidak diizinkan masuk ke wilayah yang terkena pandemi. Sehingga, solusi itulah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Karena, semuanya demi menyelamatkan nyawa rakyat. Maka, pemerintah harus bersikap tegas untuk berani menerapkan lockdown.
Sungguh itulah keindahan aturan Islam. Aturan yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga akan menyelesaikan permasalahan hingga tuntas. Dan sudah sewajarnya kita sebagai umat Muslim kembali kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Caranya dengan berjuang menegakkan aturan Islam di tengah kehidupan masyarakat dan bernegara. Dan umat Islam harus menyadari akan agamanya yang agung, lengkap, dan komprehensif.
Allah Swt. berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS Al-Māidah [5] : 3).
Wallahu’alam bishshawaab.
Penulis : Citra Salsabila (Penggiat Literasi Kuningan)