KUNINGAN (MASS) – Minum secangkir teh ditemani ubi rebus atau pisang goreng merupakan kenikmatan tersendiri, apalagi saat cuaca dingin. Meski seiring waktu cemilan pendamping teh berganti menjadi biskuit, kenikmatan minum teh tetap tidak tergantikan. Dan saat ini, teh bisa dinikmati kapan saja dimana saja, melalui minuman teh kemasan botol atau kotak. Dengan pilihan berbagai rasa, minum teh terasa semakin nikmat.
Namun tidak banyak orang tahu, minuman teh kemasan yang biasa dinikmati ternyata berasal dari teh impor. Hal ini karena harga teh impor lebih rendah dibandingkan teh lokal.
Impor teh adalah fenomena bertolak belakang dengan kenyataan negeri kita yang subur, yang dapat menghasilkan komoditas pertanian beraneka ragam. Jawa Barat sendiri, menjadikan teh sebagai andalan ekspor. Bulan maret lalu berhasil mengekspor 20 ton teh asli Jawa Barat ke Uni Emirat Arab dengan nilai Rp.614 juta.
Menurut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, ekspor produk pertanian dan perkebunan Jawa Barat masih yang tertinggi di Indonesia. Khusus produk teh, kontribusi Jawa Barat terhadap total produksi teh nasional sebesar 69,15 persen, disusul Jawa Tengah (9,06%), Sumatera Utara (6,20%), Sumatera Barat (5,70%) dan Jambi sebesar (2,59%). (Jabarprov.go.id, 26/3/2021)
Ironis, negeri yang kaya akan komoditas pertanian termasuk teh, justru melakukan impor. Hal yang sama juga menimpa pada komoditas jagung dan kedelai. Aktifitas ekspor impor seperti ini, tentu akan lebih menguntungkan para pemilik modal/korporasi dibandingkan kepentingan masyarakat dalam hal ini para petani. Sebagaimana diungkapkan Dekan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof.Dr. Nunung Nuryantono, kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor) selama ini belum memberikan keuntungan signifikan terhadap para petani nasional. Sebab fakta yang terjadi selama ini kegiatan ekspor-impor itu justru manfaatnya hanya dinikmati oleh sebagian kelompok kecil yang berkecimpung mencari untung dibidang itu. (Rri.co.id, 19/2/2020)
Fenomena seperti ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme liberal, dimana untung rugi secara materi dijadikan pertimbangan utama. Maka wajar, yang menjadi perhatian adalah kepentingan para pemilik modal/korporasi, sementara kepentingan masyarakat sering diabaikan. Sehingga, tingginya nilai ekspor hanya akan menguntungkan para kapital/korporasi, adapun rakyat hanya mendapatkan remah-remah keuntungan bahkan mungkin dirugikan.
Selain itu, sistem kapitalisme liberal menjadikan perdagangan bebas dan pasar bebas sebagai fokus utama. Pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pelayan masyarakat, justru akhirnya bertindak sebagai fasilitator, yang membuat berbagai perjanjian terkait perdagangan bebas. Hal ini disebabkan keterikatan dengan kesepakatan internasional.
Sejatinya, pasar bebas dan perdagangan bebas menyebabkan kekuatan ekonomi timpang antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju menjadikan negara berkembang sebagai pasar terhadap barang dan investasi mereka. Sementara negara berkembang akan kalah bersaing dari sisi kapabilitas dan kompetisi terhadap negara maju. Maka dapat disaksikan, bentuk komoditas yang tidak berimbang. Negara maju mengimpor komoditas manufaktur, sementara negara berkembang mengekspor komoditas semisal pertanian dan kerajinan UMKM.
Berbeda dengan Islam sebagai agama yang kafah (sempurna) mengharuskan kehidupan berjalan sesuai dengan syariah Islam, termasuk dalam perekonomian. Islam memandang, ekspor impor adalah bagian dari perdagangan luar negeri, yang mubah (boleh) dilakukan sebagaimana hukum asal perdagangan. Hanya saja, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam perdagangan luar negeri.
Islam memperhatikan orang/pelaku perdagangan bukan dari komoditasnya. Dalam istilah fiqih dikenal tiga posisi sesuai dengan asal negaranya. Yaitu warga negara, penduduk negara kafir harbi, dan penduduk negara kafir harbi muahad.
Ketika melakukan perdagangan, warga negara baik kafir atau muslim bebas melakukan perdagangan baik di dalam maupun ke luar negeri. Penduduk negara kafir harbi (bermusuhan) akan diberikan visa khusus terkait dengan diri dan komoditas perdagangannya. Adapun penduduk negara kafir harbi fi’lan (yang nyata-nyata melakukan peperangan kepada kaum muslimin) akan diputuskan hubungan termasuk dalam masalah perdagangan. Adapun penduduk kafir harbi muahad (yang terdapat perjanjian) akan diperlakukan sesuai dengan isi klausul perjanjian dengan negara bersangkutan.
Perdagangan luar negeri tekait dengan hubungan dengan wilayah di luar negeri, maka pengaturannya akan masuk ke dalam kontrol Departemen Luar Negeri. Aktifitas perdagangan luar negeri tidak boleh dilakukan jika mengancam keselamatan negara dan rakyatnya, ataupun yang dapat melemahkan eksistensi negara. Atau sebaliknya perdagangan yang akan menguatkan posisi musuh. Negara juga akan melarang ekspor komoditas strategis ke negara kafir harbi.
Negara dalam Islam memiliki dua tugas mulia, di dalam negeri sebagai pelaksana penegakan syariah Islam secara praktis dan keluar negeri melaksanakan dakwah. Tugas negara di dalam negeri dimanifestasikan berupa pelayanan kepada masyarakat. Maka, aktifitas yang dilakukan termasuk perdagangan dilakukan bukan semata-mata untuk meraih untung rugi secara materi, namun harus memperhatikan kemaslahatan rakyat.
Demikian pula, hubungan luar negeri dilakukan berdasarkan pandangan syariat Islam, bukan untung/rugi. Negara akan melarang kerjasama yang akan merugikan negara dan kaum muslimin karena akan membuka jalan bagi orang-orang kafir menguasai kaum muslimin.
Menilik sejarah, kaum muslimin sudah melakukan aktifitas perdagangan luar negeri sejak masa Nabi SAW. Kita bisa ketahui, bagaimana kaum muslimin melakukan perdagangan hingga ke Cina bahkan Eropa. Dengan penerapan syariat Islam khususnya terkait perdagangan luar negeri, menjadikan aktifitas tersebut dapat membawa kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudaratan
Oleh karena itu, keberadaan penguasa yang memiliki visi yang jelas serta amanah dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat mutlak diperlukan, untuk menjadikan aktifitas ekspor impor yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” Hadits riwayat Imam Muslim.***
Penulis : Siti Susanti
Staff Pengajar Lembaga Asysyifa Bandung