KUNINGAN (MASS) – Literasi sejarah merupakan suatu kemampuan yang penting dimiliki peserta didik dalam pembelajaran IPS.
Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas.Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Bukhori (2005) mengemukakan “Literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.”
Maka literasi sejarah dapat diartikan sebagai suatu sikap literat terhadap sejarah berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang dikembangkan oleh peserta didik.
Literasi sejarah tidak menjadikan peserta didik hanya melek akan sejarah tetapi juga memiliki sikap kritis dan peka terhadap lingkungan sejarah.
Ahonan (2005:1) memandang historical literacy adalah kemahiran dalam membaca dan mendiskusikan sejarah.
Jika seseorang mampu mempertanyakan bukti dan penjelasan sejarah, maka orang tersebut dianggap telah memahami konsep-konsep dasar sejarah sebagaimana yang diungkapkannya bahwa : Historical literacy’ is a behaviouristic term suggesting a mastery of the basic historical information, which enables historical reading and discussion.
If the person can ask questions of evidence and explanation, he or she is assumed to have a grasp of the basic procedural concepts of history and to be a critical reader.
A Campbell, I Krisch, & A Kolstad (dalam Darma, 2014:2) mengartikan literasi sebagai seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh diatas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah.
Literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan.
Dapat dipahami bahwa literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah berbagai informasi menjadi sebuah konsep pemahaman ilmu pengetahuan, sehingga ia tahu, paham, dan dapat mengolah serta mengembangankan sebuah pengetahuan.dan konvensi-konvensi yang menyertainya.
Menurut Wells (1987: 111) menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan literasi, yaitu: performative, functional, informational, dan epistemic. Orang yang tingkat literasinya berada pada tingkat performatif, ia mampu membaca dan menulis, serta berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan (bahasa).
Pada tingkat functional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti membaca buku manual.
Kemampuan literasi seseorang tidak muncul begitu saja atau bawaan sejak lahir tetapi diperlukan latihan dan bimbingan dari orang lain.
Proses latihan dan bimbingan ini dimulai dari manusia kecil dalam lingkungan keluarga yang membiasakan akifitas membaca atau bahkan mungkin dari manusia itu masih dalam kandungan melalui kebiasaan ibunya membaca.
Dari lingkungan keluarga proses tersebut akan didukung dan dikembangkan dalam lingkungan sekolah dan masyarakat dimana manusia itu berada.
Sebuah filsafat pembelajaran yang kini makin popular selama beberapa dekade ini adalah konstruktivisme (constructivism).
0Konstruktivisme juga merupakan sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis dalam pendekatan dan strategi pembelajaran.
Karena itu konstruktivisme sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan, yang memunculkan beragamnya metode/strategi pembelajaran baru.
Dalam bab ini kita akan menyimak filsafat konstruktivisme, prinsip-prinsip,, bagaimana hubungannya dengan pembelajaran, ragamnya, penerapannya dalam pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran konstruktivisme.
Terminologi “konstruktivisme” dapat dimetaforakan sebagai samudera luas, sejauh kita memandang tidak nampak batas teritorialnya.
Wajar jika istilah ini banyak digunakan oleh para filsuf, perancang kurikulum, psikolog, pendidik dan lain-lain.Glaseerfeld (1997: 204) sebagai salah seorang pionir gerakan konstruktivis, menyebutnya ―bidang yang sangat luas ini tidak jelas batas-batasnya dalam psikologi, epistemologi, dan pendidikan.
Sebenarnya, perspektif konstruktivis yang sekarang makin marak tersebut embrionya berpijak dari penelitian; John Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotky, Jerome Bruner, dan termasuk para ahli psikologi Gestalt (Max Wertheimer, Kurt Kofka, dan Wolfgang Kohler).
Prinsip dasar yang melandasi filsafat konstruktivisme adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (penciuman, perabaan, pendengaran, perabaan, dan seterusnya) sebagaimana asumsi kaum realis pada umumnya.
Selain itu tidak ada teori konstruktivisme tunggal, tetapi sebagian besar para konstruktivis memiliki setiadaknya dua ide utama yang sama; (1) pembelajar aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan; (2) interaksi sosial merupakan aspek penting bagi pengkonstruksian pengetahuan (Bruning, Scraw, Norby, & Ronning, 2004: 195).
Konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal (de Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004).
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Von Glaserfeld (1987), pendiri gerakan konstruktivis, konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif.
Selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri.***
Penulis : Nur Amalia.
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret
Asal Perumahan Taman Ciharendong Kencana, Kuningan