Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass

Netizen Mass

Cerpen : Cinta, Terkutuk Kau !

KUNINGAN (MASS) – Aku kira, diriku yang dulu akan mengutuk perbuatanku ini. Saat ini pun aku yakin, jika mereka tahu, orang orang akan mencibirku. Merasa jijik. Atau apalagi namanya. Tapi memang demikian. Menghakimi tanpa bertanya kejelasannya itu, toh sudah jadi kebiasaan orang orang kita juga. Tapi sungguh, aku tidak peduli.

Sekarang ini aku memang sedang melarikan seorang wanita yang bersuami. Aku juga tahu, tidak ada satu norma pun yang membolehkannya. Aturan mana pula yang membolehkan seorang bujang membawa kabur istri orang di depan suaminya, di depan ayah dan ibunya sendiri. Tidak ada bukan ? aku tahu. Tapi sekali lagi, aku benar benar sudah tidak peduli.

Nia, nama wanita yang kubawa saat ini. Bluesnya yang panjang menjuntai tak menghalanginya untuk sudi menaiki motor tua-ku ini, Honda CB-150. Matanya masih merah meskipun air matanya sudah kering. Selain itu, sebenarnya wajahnya masih sangat menawan. Kulitnya yang putih mulus bersih, hidungnya yang runcing, serta wajahnya yang bulat. Dadanya masih menggumpal. tak akan dikira dia sudah menikah 3 tahun. Juga sedang mengandung, meski baru satu bulan, katanya.

Roda motorku berjalan cepat melintasi jalanan Kota Cirebon, Jl. Pemuda. Lama kubawa Nia di kota yang kecil ini. Tapi aku sungguh sudah tahu seluk beluknya. Sudah hafal betul. Dulu kami satu kampus disana, di kampus swasta.

Nia masih sesegukan di belakangku. Aku hanya bisa melihatnya melalui spion.
Moment seperti ini seperti potret kami barang 5 sampai 4 tahun lalu. Beginilah kiranya Nia kalau sedang bosan. Dia akan menelponku, mengajaku jalan jalan. Kadang kami ke bioskop, Gua Sunyaragi, bahkan tak jarang hanya nongkrong di Alun-Alun dan jajan di pinggiran lapang. Waktu itu, lapang di sekitar alun alun belum di tata seperti sekarang ini.

Biasanya kami minum segelas susu cokelat hangat ditambah kacang rebus. Nia bilang, hanya suasana malam, segelas susu cokelat dan sepiring kacang rebus yang bisa menghilangkan jenuhnya. Aku selalu menggodanya. Kubilang, tidak-kah jalan jalan dengan motorku ini satu paket penghilang jenuhnya ? dan dia selalu bilang tidak. Lalu senyum padaku sambil mencubit perutku yang lembek.

Seperti itu saja keseringan cerita tentang aku dan Nia. Tapi saat ini sungguh berbeda. Nia sedang menangis. Dia sedih dan takut. Aku juga tak kalah takutnya. Hampir saja, kalau aku tidak tepat waktu menunggu di depan rumahnya, di Kota Kuningan, mungkin Nia sudah sudah benyok dipukuli suaminya yang kaya raya itu. Ibu Nia, serta mertua perempuannya yang sedang disana tak akan bisa lama menahan Heri, suami Nia. Sebilah bambu sudah diacungkan tangan kanan Heri ketika Nia berteriak lari keluar menghampiri motorku yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Sialnya, aku tidak memakai helm. Siapa sangka juga aku akan menjemput Nia dalam keadaan sebegitu semrawut. Aku tak pernah tahu akan begitu. Dan sudah kebiasaanku, helm selalu kubuka jika memparkirkan motor. Tentu Heri melihatku, Ibunya dan mertuanya juga. Mereka pasti tahu aku. Undangan pernikahan Nia dan Heri, aku sendiri yang kerjakan. Sial, besok-besok aku tidak akan betah di Kuningan.

Setelah berputar putar mengelilingi Kota Cirebon. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 10 malam. Kupelankan motor yang kukendarai setelah melewati pendopo. Hanya beberapa meter saja, motor kuarahkan masuk ke halaman Hotel di sekitaran gedung pendopo. Aku memesan satu kamar berisi dua ranjang. Mau bagaimana lagi ? aku benar-benar tidak punya pilihan lain untuk menghibur seorang perempuan, istri orang pula. Maksudku, tempat hiburan/ tempat umum lain akan terlalu beresiko. Mungkin saja ada kenalanku, atau kenalan Nia.

Sejak kuliah, aku satu kelas dengan Nia. Dia idola. Ada saja yang selalu menggodanya. Sejak jadi mahasiswa baru, aku tahu, ketua BEM sudah modus modus minta nomer hpnya. Di kelas juga begitu. Masuk organisasi juga begitu. Selalu, Nia selalu dikelilingi lelaki. Entah itu anugrah, atau musibah.

Tiap semester pacarnya ganti. Selalu lelaki tampan, atau setidaknya setengah mapan. Banyak juga sih yang pecicilan. Teman temanku juga banyak yang tertarik. Mereka selalu bilang, gigi gingsul dan tahi lalatnya yang membuat mereka tak tahan. Aku hanya teman kelas biasa.

Tapi menginjak semester 5, kami mulai dekat. Ada saja tugas kelompok yang melibatkan aku dan Nia. Sejak itulah, aku cari pendengar setianya. Curhatnya soal lelaki, soal keluarga, soal dosennya yang centil, soal pelajarannya yang sulit, banyak hal. Dan hanya aku yang tahu.

Begitu saja, selalu seperti itu. Banyak sekali aku tahu belangnya lelaki lelaki yang mendekati Nia. Bahkan beberapa aku kenal. Sialnya, makin lama, aku mulai cemburu. Lelaki dan wanita bersahabat itu hanya ada dalam dongeng, salah satunya pasti menganggap berbeda.

Di kamar hotel lantai 4 nomer 314 ini, kami mendapat kunci. Satu kamar untuk berdua. Nia masih sesegukan. Tapi sorot matanya sudah berbeda. Nia menatapku galak.
“Kenapa bawa aku kemari ?”
Aku hanya terdiam. Wajar saja, selama kami dekat dulu, kami tidak pernah terjebak dalam ruangan seperti ini.
“Aku tidak tahu lagi harus membawamu kemana, Nia ?”
“Tapi kenapa hotel ? kau juga mau jadi bajingan ? melihatku sedang terpuruk seperti ini mau mengambil kesempatan, hah ?” jawabnya dengan nada ketus. Sorot matanya tajam. Merah bekas menangis. Ya Allah. Wanita selalu saja punya insting yang kuat. Aku memang sudah tergoda olehnya, cantiknya, tutur katanya, dan lemah lembutnya. Tapi hotel ? mungkin memang ada sedikit dorongan nafsuku.
“Okey Nia, aku salah. Aku faham,”
Nia masih menatapku tajam. Tatapanya membuatku merasa serba salah.
“Okey, besok aku harus jemput kamu jam berapa ?” ujarku mengalah.
“Aku tidur di kontrakan teman, besok jam berapa kau ingin keluar ?” ujarku lagi.
Dia masih menatapku tajam. Tidak berkata apa apa. Aku lebih bingung lagi.

Tiba tiba tangannya memegang tanganku. Membuka pintu kamar dan menarik tubuhku ke balik pintu di dalam kamar. Membuat kami berhadapan sempurna. Mata dengan mata, hidung dengan hidung, bibir dan biri. Semua simetris. Dia mengecup pipiku. Lagi. Ini kejadian yang kedua kalinya.

Sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat setelah sidang kelulusan kami yang serentak, Nia menghampiriku. Reflek tangannya memeluku dengan kegirangan. Dia berterima kasih meskipun akhirnya melepaskanku malu malu dan meminta maaf. Coba saja, dipeluk wanita secantik itu di lorong kampus. Siapa yang tidak meliriku dengan tatapan tajam.
Setelahnya, kita pergi menjelajahi kota Cirebon. Ke bioskop. Karaoke. Makan. Dan terakhir kita jalan jalan. Jam 10 malam kita baru pulang. Sampai di depan kontrakannya kuantar. Sebelum masuk kami berbincang. Dia bilang setelah lulus akan segera dilamar pacarnya, Heri. Dia bercerita dengan gembira, senang. Aku hanya ikut senyum saja.

Tak terasa kami ngobrol terlalu lama. Sudah jam setengah sebelas. Setengah jam di depan kontrakan wanita itu sungguh geli buatku. Tapi untuk Nia, apa boleh buat. Tapi lama kelamaan hatiku mulai tak karuan. Nia tak pernah membosankan. Tapi cerita soal Heri dan rencana pernikahan mereka, membuatku benar benar tidak tahan.
Aku potong saja ceritanya. Aku bilang sudah malam.
“Sudah malam, Nia.”
“Akh, kenapa sih ? lagi asyik tau ceritanya”
“kau butuh istirahat buat besok, tetangga juga mungkin terganggu,”
“Sejak kapan kau jadi peduli tetangga ?”
“Oke oke, aku tidak tahan. Aku cemburu,”
Itu perbincangan terakhir kami sebelum semuanya serba berubah. Serba kaku. Setelah percakapan itu, tidak ada lagi diantara kita yang berbicara. Kami hanya saling tatap. Itupun aku langsung menunduk. Malu.
Nia mendekatiku.
“Kau bercanda ?” ucapnya dengan nada serius. Memandangiku lebih dalam.
“Aku tidak bercanda. Aku pamit pulang,” ujarku.
Aku langsung berbalik meninggalkan Nia. Langkahku sedikit gontai menuju gerbang dan memarkirkan motor. Aku harus pulang pikirku.
Setelah aku duduk di jok motor, tepat sebelum aku mengenakan helm, Nia mengecupku dari sampin. Nia ternyata mengikutiku ke depan, ke arah motorku terparkir. Lalu mengantarkanku ke gerbang. Tanpa perbincangan. Suasana malam itu menjadi aneh.
Tak ada perbincangan apalagi setelah itu.

Kami tidak berkomunikasi lagi dalam bentuk apapun, kecuali sebelum pernikahannya. Itupun nomer calon suaminya. Hanya seperti itu. Meski tentu saja, di perkawinannya, ketika kami hendak bersalaman, Nia tersenyum kecut, seperti sedikit kecewa. Aku tidak mau kePD-an. Kami salaman biasa. Aku mengucapkan selamat. Nia membalasnya dengan ucapan terima kasih. Terima Kasih, Sahabat setia. Katanya.


Dan tadi siang, tiba tiba saja Nia mengirim pesan melalui SMS. Dia bilang, Jemput aku di Kuningan, Penting. Hanya itu saja, dan aku langsung memacu motorku tanpa pikir panjang. Dari Majalengka, sengaja aku memutar ke Cikijing. Tentu saja, agar bisa cepat menjemput Nia di Kuningan. Mau kemana ? entahlah, tadi, akupun tidak tahu.

Dan sekarang, inilah akhirnya. Aku dan Nia terjebak di salah satu kamar hotel Cirebon. Di samping pendopo. Dekat pula dengan stasiun kereta. Entahlah, dalam pikiran tak jelas seperti itu, yang kupikirkan adalah tempat yang dekat dengan transportasi jarak jauh. Jika saja, dan sangat mungkin, sekiranya kami dikejar oleh Heri, Aku bisa membawa kabur Nia lebih jauh. Dari Stasiun Kejaksan.

Tapi insiden Nia yang mengecupku ini membuatku tak bisa apa apa selain membalasnya. Sudah tidak peduli lagi aku pada norma norma yang ada. Yang kupikirkan saat ini bukan lagi melarikan Nia dari Heri. Tapi Nia dan Aku dalam satu ruangan. Tanpa sesiapapun. Hanya kami berdua. Dengan kecupan pertama Nia. Hanya itu.

Malam panjang itu kami habiskan dengan terjaga. Sesekali Nia memang masih sesenggukan, sesenggukan dalam rangkulanku. Sesenggukannya, entah karena ketakutannya pada Heri yang mungkin mengejar, atau menyesal atas perbuatan terkutuk kami berdua. Perbuatan binatang yang tak tahu norma.

Nia mulai mereda. Tangisnya berhenti. Dia mulai bercerita kenapa dia sampai bertengkar begitu hebatnya. Nia bilang suaminya menghamili adik tetangga yang baru lulus kuliahnya di Jakarta, 3 bulan lalu. Orang tuanya menuntut. Keluarga Nia tidak terima. Akhirnya Nia cek-cok dengan tetangga dan menggamparnya, suaminya pun ikut didebat dan digamparnya. Itulah kenapa Heri marah besar. Bukan karena tamparan Nia yang membuat pipinya terluka. Tapi harga dirinya yang terluka. Ditampar di depan orang tua dan tetangga. Nia menuduh Heri cabul. Dan Ratna, wanita yang dicabuli Heri, dituduh Nia, lacur. Semua itulah yang membuat Heri tak tahan dan akhirnya bertengkar hebat dan mengambil sebilah bambu. Beruntung aku sudah menunggu di depan rumahnya.

Pukul setenah dua pagi. Nia tiba tiba bangkit dari pelukanku. Dia sudah tegar. Matanya kembali bersih. Tatapnya sudah benar benar normal kembali.
“Aku hanya melampiaskannya padamu, jangan salah faham,” ujarnya dengan nada datar padaku.
“Maksudmu ?”
“Bukan Cuma si brengsek Heri saja yang bisa main main dengan Jalang Haram,”
“Jadi ini sekedar balas dendam ?”
“Iya. Enak saja suami brengsek itu menghamili perawan orang. Katakan, aku juga masih cukup cantik buka untuk menggoda lelaki hidung belang ?”
“Kau memang cantik, sejak dulu,” ujarku.
Setelah itu kami saling diam. Aku hanya ikut mematung. Nia, dia mencuci muka dan merapihkan bajunya. Menyemprotkan minyak wangi di sekujur tubuhnya. Serta gincu merah. Nia cantik luar biasa.
Melihat nia yang hendak pergi, hatiku dag dig dug tak karuan. Aku seolah akan kehilangan untuk kedua kalinya. Kehilangan cinta yang kupupuk sejak dulu. Kehilangan karena aku tak pernah berbuat sejak awal. Aku selalu terlambat.
Nia sudah diambang pintu. Membuka pintu dengan perlahan. Sekarang, pintu sudah terbuka. Tapi entah apa yang merasukiku. Aku berlari dan menarik tangannya. Menutup kembali pintunya dengan rapat. Menarik tubuhnya hingga kami berhadap hadapan.
“Kau mau apa ?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak. Giliranku melihat matanya yang penuh keheranan, dan kesedihan. Ku tatap dalam dalam. Hari ini, aku harus berani katakan.
“Nia, Kamu sudah cantik. Aku suka kau sejak dulu, hingga kini,”
Sebelum Nia berkata barang sepatah atau dua patah kalimat, kukecup cepat bibirnya dengan lembut. Bibirnya sudah terkunci. Kupeluk dia dengan lembut dan perlahan. Kucoba fahamkan dia, bahwa aku tak pernah bohong soal perasaanku padanya, sejak dulu.
Lama kami berpelukan dibelakang pintu. Diam diam,aku merasa seperti menghabiskan dendam cinta yang sudah lama kupendam, sendirian. Tak peduli lagi, saat ini Nia istri siapa. Tak peduli lagi kami dulu adalah sahabat setia. Tak ada norma, tak ada susila, semua ini hanya karena cinta. Terkutuklah kau.

Perlahan, Nia mulai membalas pelukanku. Membalas kecupanku. Membalas setiap tatap mataku. Membalas desisku. Membalas bisiku.
Sejak itu, sudah kuputuskan. Besok aku akan membawanya ke Surabaya. Atau luar Jawa. Kemapaun. Asal jangan mengantarnya kembali lagi pada Heri, suaminya.

Oleh : El-Huda
Kategori : Dewasa

Advertisement. Scroll to continue reading.

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement