KUNINGAN (MASS) – Dalam tulisan kali ini, kuninganmass.com mencoba menceritakan ulang Kuningan dari masa ke masa.
Tulisan ini, bersumber dari penuturan sebuah buku yang ditulis tokoh kenamaan Kuningan, Prof Edi S Ekadjati.
Adapin judulnya adalah ‘Sejarah Kuningan Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten’ pada tahun 2003 atas rekomendasi seminar yang diprakarsai Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kala itu.
Ditulis dalam buku tersebut, ada beberapa versi tentang sejarah penggunaan istilah Kuningan sebagai nama daerah.
Pertama, termasuk salah satu versi yang paling masyhur, istilah Kuningan diambil dari nama sebah jenis logam, Kuningan.
Logam yang terbuat dari campuran berupa timah, perak dan perunggu yang disepuh (dibersihkan diberi warna) sehingga menghasilkan warna kuning seperti emas.
“Di Sangkanherang, dekat Jalaksana,sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak, sampai tahun 1950-an, barang-barang yang terbuat dari bahan kuningan, sangat disenangi kaum elit (menak) di daerah Kabupaten Kuningan,” ujarnya.
Istilah logam kuningan sendiri, tidak bisa lepas dari bokor kuningan yang kini menjadi salah satu ikon Kuningan.
Adapun cerita bokor kuningan, memiliki dua versi di dua zaman yang berbeda, zaman hindu/budha, serta zaman peralihan Islam.
Dalam buku tersebut diakui, dua cerita itu berasal dari dua sumber berbeda, Cerita ciung wanara (Ciamis), serta Babad Cirebon dan tradisi lisannya.
“Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan, yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama,” sebutnya dalam yang cuku tebal.
Kedua, versi lainnya yang diambil dari tradisi lisan, istilah ‘Kuningan’ sebagai nama daerah, diambil setelah sebelumnya bernama ‘Kajene’. Sedangkan ‘Jene’ sendiri, dalam Bahasa Jawa memiliki arti ‘warna kuning’.
Meski begitu, keotentikan cerita ini – tertulis dalam keterangan buku tersebut – diragukan, karena ada dasar lain –naskah cerita Parahyangan yang disusun abad ke 16- Kuningan sebagai nama daerah sudah dikenal sejak zaman awal kerajaan Galuh (abad ke 7/8 M).
“Secara umum, warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat nusantara,” terangnya.
Ada pula versi ketiga, yang menyebutkan Kuningan berasal dari sebuah nama ilmu kegaiban (ajian) yang dimiliki salah satu yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah tersebut, pada masa awal kerjaan Galuh.
Tokoh tersebut adalah Demunawan, sedangkan ajian yang dimaksud adalah ‘dangiang kuning’.
Sedangkan versi keempat, atau versi terakhir yang disebut dalam buku tersebut dengan menggunakaan penekanan tanda tanya dan praduga di akhir kalimatnya.
Menyebutkan ada istilah Kuningan dalam kalender di tradisi Hindu, yang masih dipakai umat Hindu-Bali hingga sekarang.
“Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke-12 dari system kalender tersebut,” jelas tulisan tersebut.
Dan dalam Wuku Kuningan tersebut, selalu diadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Meski ditulis dalam kalimat ‘mungkinkah nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama daerah ini ?’ (dengan tanda tanya di belakangnya, menunjukan praduga, red).
Tapi diberi penegasan, bahwa istilah Kuningan sebagai nama daerah, sudah disebut dalam dua naskah abad ke 8 Masehi, Naskah Carita parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan. (eki)