KUNINGAN (MASS)- Konferensi adalah forum sakral untuk setiap organisasi yang melangsungkan pergantian, regenerasi, estafet kepemimpinan ditingkat wilayah dan daerah. Pada tanggal 29 februari sampai 1 maret 2020 PC GP Ansor Kab. Kuningan yang telah melaksanakan Konferensi tingkat daerah atau KONFERCAB yang ke XIV dengan mengusung tema kemandirian berbasis tradisi dan keragaman. Pemilihan tema ini merupakan penegasan harus seperti apa Pemimpin Ansor kedepan.
Dengan mengusung tema yang saya sebutkan diatas marwah Ansor pada konfercab yang berbasis pada tradisi haruslah dijungjung tinggi diatas segalanya termasuk menegasikan kepentingan apapun yang akan merusak tradisi Pesantren, karena Ansor hari ini merupakan gambaran NU kedepan.
Namun, kenyataan yang terjadi malah terbalik Konfercab Ansor malah menjadi ajang penyusupan agenda politis praktis dengan maraknya intervensi dengan berbagai ancaman yang berujung penjegalan salah satu kandidat dengan jika salah satu kandidiat yang diusung PAC menang tidak akan diterbikan SK.
Ancaman tersebut datang dari salah satu petinggi Pimpinan Wilayah Ansor disaat salah satu calon yang mendapat amanah dari 18 PAC dari total 25 PAC yang hadir pada konfercab Ansor ke XIV. Adapun dalih yang digunakan atas dasar bahwa calon tersebut tidak memenuhi salah satu point administrasi kriteria kandidat ketua sesuai dengan PD/PRT.
Jikalau dalil ini digunakan secara konsisten mestinya ketiga kandidat harus gugur karena ketiganya tidak memenuhi kriteria dan hal ini diputuskan oleh forum bukan di ruang privat. Forum yang punya hak memutuskan. saya nilai soal tersebut seperti benar namun keliru dalam pengaplikasiannya, dikarenakan aturan tersebut pada realitanya tebang pilih dalam penerapannya, di sinilah letak intervensi PW.
Tidak sampai di situ, politik intervensi ini ibarat jaring laba-laba menjerat siapa saja yang lewat, hal ini saya runut pada pra konfercab, aroma berbau politis sudah sangat kental terasa, katakanlah pada pelaksanaan rapat pimpinan cabang (Rapimcab) dimana ada salah satu kandidat yang mendapat penjegalan untuk tidak mencalonkan diri sebagai Ketua Ansor Kuningan dan penjegalan tersebut datang dari salah satu Dewan Penasehat (Wanhat) Ansor Kuningan.
Setelah selasai rapimcab tibalah pada saat konfercab dimana forum tersebut seharusnya menjadi tempat beradu gagasan serta pemikiran untuk Ansor Kuningan kedepan dengan memberikan ruang kepada siapapun yang memiliki kemampuan dan kepantasan sebagai Calon Ketua Ansor yang memiliki kompetensi tidak hanya dalam berorganisasi namun juga dalam hal keilmuan baik umum maupun keagamaan dengan dibuktikan mampu menguasai Fan ilmu yang biasa diperlajari kaum sarungan.
Pada pelaksanaan konfercab yang penuh dengan khidmah dan tertib baik pada saat pembukaan sampai pada sidang pleno 1,2 dan 3 berjalan lancar, namun tidak pada sidang pleno 4 ketika pembahasan tata tertib pemilihan calon Ketua Ansor cukup alot, dan mulai terlihat berbagai kepentingan diantaranya untuk memuluskan salah salah satu calon titipan yang sarat dengan berbagai kepentingan politis.
Alotnya sidang pleno 4 terdapat pada pembahasan nomor 5 poin b tentang keharusan calon ketua ansor harus memiliki masa pengabdian menjadi pengurus sekurang-kurangnya tiga tahun pada tinggkatan cabang atau anak cabang dibuktikan dengan SK dan dilegalisir. Hal ini merujuk pada Keputusan Kongferensi Besar (Kongres) Ansor tentang Pemilihan Ketua Umum dan Ketua Pengurus Pimpinan Organisasi.
Putusan tersebut adalah sebuah keharusan yang harus ditaati sebagi pedoman dalam beroganisasi di Ansor khususnya. Namun hal tersebut digunakan sebagai senjata untuk menjegal seorang calon yang menerima mandat atau amanah dari 18 PAC dari jumlah 28 PAC yang terbentuk dengan dalih menjungjung tinggi PD/PRT.
Namun pada realitanya justru pelaksanaan KonferCab secara umun banyak melanggar PD/PRT mulai dari mekanisme pelaksanaan konfercab dan juga pembentukan PAC yang jauh dari Kesesuain PD/PRT demi memaksakan konfercab untuk disegerakan sekalipun banyak kerancuan.
Katakanlah mekanisme pemilihan Ketua PAC sebagai cikal bakal terlaksananya konfercab, karena tidak akan pernah terjadi konfercab apabila tidak terbentuk PAC 75% dari total kecamatan di suatu kabupaten/kota, sebagai bahan pertimbangan tentang mekanisme pemilihan Ketua PAC tidak sedikit yang dipilih melalui mekanisme pemilihan melainkan dengan penunjukan sekalipun tidak memiliki masa pengabdian menjadi pengurus sesuai PD/PRT, berangkat dari hal tersebut pelaksanaan konfercab bisa dikatakan cacat hukum atau batal demi hukum jikalau merujuk pada PD/PRT.
Penerapan PD/PRT yang seharusnya berlaku untuk semua calon namun pada realita tebang pilih pelaksanaanya, karena jikalau melihat dari 3 calon yang berkontestasi tidak ada yang mampu membuktikan secara gamblang keaktipan dalam menjadi pengurus yang harus dibuktikan dengan SK Kepengurusan yang dilegalisir.
Akan tetapi aturan tersebut tidak di indahkan, melainkan hanya satu calon yang dipermasalahkan. Konfercab GP Ansor Kab. Kuningan pada tahun 2020 bisa dikatakan syarat akan sebuah kepentingan politis yang ditunggangi salah satu partai dan seperti ada kemufakatan jahat dalam pelaksanaanya.****
Penulis Muhammad Iftor Nawawi
(Anggota PAC GP Ansor Sindangagung)