KUNINGAN (MASS) – Pada hari raya Idul Adha sering juga disebut Idul Kurban, yakni sebuah ibadah dengan berkurban memotong hewan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Tuhannya dan wujud peduli kepada sesama manusia.
Selain bentuk ibadah, berkurban juga banyak mengandung nilai-nilai pendidikan, ada tiga nilai pendidikan dalam idul Adha atau Idul kurban. Pertama, pendidikan sosial, yakni bentuk kesadaran dan perwujudan umat manusia sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memotong hewan kurban yang hasilnya dibagikan kepada para tetangga.
Dari proses ini para tetangga dan saudara-saudara kita dapat menikmati makanan yang mungkin selama ini mereka jarang merasakannya. Dalam hal ini berkurban termasuk dalam kategori ibadah horizontal, ibadah yang turut serta melibatkan sesama manusia dalam mendapatkan ridho Allah.
Secara historis berkutban juga terdapat nilai-nilai sosial yang berdampak terciptanya kebersamaan, kekompakan dan persatuan dalam bermasyarakat. Kedua, pendidikan keyakinan (tauhid) yakni usaha membimbing dan mengenalkan Allah sesuai dengan nilai-nilai ajarannya agar mempunyai kepribadian yang Islami.
Pada pendidikan tauhid ini terdapat peran Siti Hajar yang sangat berpengaruh dalam manancapkan keyakinan dan ke-Esaan Allah swt pada diri Nabi Ismail as sebagai anak yang taat dan patuh kepada Allah dan kedua orangtuanya.
Fakta ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Qs. As-shafat ayat 101-102, 101. “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.
Namun dalam sejarah Idul Kurban, peran siti hajar sering kali terlupakan. Tanpa pendidikan dan penanaman tauhid yang kuat kepada Ismail, sulit untuk menerima kenyataan yang datang pada Nabi Ibrahim as yang secara logika sangat bertentangan.
Namun kekuatan tauhid dan akidah yang lurus (salimul a’qidah) yang dimiliki Ismail membawa dirinya seorang anak yang patut dan taat kepada Allah dan nabinya. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya.
Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam’ (QS 6:162).
Dilihat dari aspek pendidikan dan pembinaannya membawa kesusksesannya dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai Ketuhanan (rububbiyah) kepada Nabi Ismail, yang merupakan salah satu kunci tercapainya pembentukan pribadi muslim yang taat. Ketiga, sosok Siti Hajar yang cerdas, solehah dan pekerja keras mampu memberikan pendidikan karakter (character building) kepada Ismail.
Pendidikan karakter menurut Sjarkawi adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Proses tarbiyah dan pendidikan karakter yang dibangun oleh Siti Hajar kepada Ismail memberikan warna akhlak yang kokoh (matinul khuluq). Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-Nya.
Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah swt di dalam QS Al-qalam ayat 4. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”.
Sosok Siti Hajar yang tidak kenal lelah dalam memberikan pendidikan, perhatian, kelembutan, dan kesabaran kepada Ismail membuahkan hasil teladan yang patut ditiru dan panutan bagi kaum ibu-ibu. Sehingga dalam pepatah bahasa Arab Al-ummu madrosatul uula (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anakya).
Tidak sedikit dalam catatan tinta emas Islam lahirnya para nabi rasul dan tokoh-tokoh Islam berkat peran pendidikan ibunya. Siti Hajar mampu membesarkan menjadikan nabi Ismail suri tauladan seorang diri tanpa didampingi oleh suaminya.
Nabi Isa dibesarkan dan didik menjadi pemuda yang soleh dan sabar berkat Siti Maryam seorang diri. Imam Syafii seorang ulama madzhab yang masyhur sejak kecil sudah yatim, namun berkat kehebatan ibunya beliau menjadi imam madzhab yang disegani dan banyak dianut di dunia.
Tak ketinggalan nabi Muhammad SAW sejak umur 2 bulan dalam kandungan sudah ditinggal sang ayah dan menjadi yatim, Namun sang ibunda Siti Aminah dengan sabar dan kerja keras membesarkannya menjadikannya nabi Muhammad manusia yang agung dan mulia.
Ini menandakan bahwa pendidikan utam seorang ibu merupakan kuci utama kesuksesan anaknya kelak dan kesabarannya merupakan senjata yang akan membuatnya patuh dan taat kepada Allah dan kepada kedua orangtuanya.***
Penulis : Sopian Asep Nugraha, M.Pd
Guru SMAIT Al-Multazam Kuningan