KUNINGAN (MASS) – Penetapan besaran TPP (Tambahan Penghasilan PNS) di lingkup Pemkab Kuningan sangat mungkin menuai kontroversi di lingkup pejabat yang menduduki eselonering (dari esolon 2a hingga 4b).
Penyebab munculnya kontroversi karena adanya rasa kurang adil dari kebijakan bupati tersebut. Selain dinilai adanya ‘kejomplangan’ yang sangat mencolok besaran TPP antara eselon 2a (sekda) dengan eselon 2b (kadis/kaban), perbedaan TPP sesama eselon 2b juga akan menjadi ‘perbincangan’ tersendiri.
“Dengan bedanya besaran yang akan diterima pejabat eselon 2b (kadis/kaban) akan memunculkan kesan, masih adanya perbedaan ‘kelas’ antar SKPD,” kata Ketua F-Tekkad, Soejarwo, Kamis (17/1/2019).
Adanya perbedaan besaran TPP yang cukup besar antar SKPD, menurutnya tidak mustahil akan memunculkan persaingan yang kurang sehat dalam setiap momentum pelaksanaan rotasi maupun promosi jabatan. Siapapun pasti akan ‘memburu’ posisi/jabatan yang TPP-nya lebih besar.
“Begitu pula pada eselon di bawahnya. Mereka (ASN) akan ‘berjibaku’ untuk ditempatkan di Setda atau SKPD dan akan ‘menghindar’ menduduki jabatan di tingkat kecamatan,” ucapnya.
Guna menghindari dampak negatif dari penetapan besaran TPP, imbuh Jarwo, tidak ‘diharamkan’ jika bupati dapat meninjau ulang keputusan yang telah ditetapkan.
“Karena tujuan untuk menghilangkan dikotomi SKPD ‘basah dan kering’ dengan ditetapkannya TPP, sangat sulit tercapai jika besaran TPP yang akan mereka (ASN) terima telah memunculkan kontroversi,” sarannya.
Di tempat lain, Direktur Merah Putih Institute, Boy Sandi Kartanegara turut mengomentari. Dalam menyikapi soal TPP bagi ASN di Kabupaten Kuningan, pikirnya, itu soal perspektif saja. Ada yang melihat jumlah itu terlalu besar, ada pula yang menilai itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan kabupaten lain.
“Bagi saya, sepanjang memang aturan yang memayungi pemberian TPP itu ada, ya gak masalah. Soal besaran, saya pikir harus dihitung sesuai dengan kemampuan keuangan daerah,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Boy, perlu juga mempertimbangkan faktor etis seperti disparitas dengan UMK atau upah bagi para THL yang baru diangkat belum lama. Mereka sama-sama melaksanakan tugas negara tapi dengan salary yang jauh berbeda.
“Ini juga harus jadi bahan kajian agar rasa keadilan diantara para buruh di pemerintahan ini terperhatikan,” tandasnya.
Untuk menjaga soliditas aparatus di Eselon II (Asda, Kadis, Kaban dan Staff Ahli), ia menyarankan agar nominalnya disamakan. Dengan begitu tidak perlu ada lagi dikotomi lahan basah atau kering di internal ASN itu sendiri.
“Semoga besaran TPP itu bukan hasil kompromi eksekutif-legislatif untuk kepentingan mereka saja. Tapi hasil kajian dari aspek kemampuan, kewajaran dan keadilan,” tukas Boy. (deden)