JAKARTA (MASS) – Pertanyaannya sederhana, dampaknya luas: ketika Presiden Prabowo menargetkan pembangunan 300 ribu unit jembatan, apakah ini terobosan kebijakan yang akan memutus isolasi desa, atau sekadar angka besar yang sulit dibuktikan di lapangan?
Presiden bahkan menyebut pembentukan Satgas Khusus Darurat Jembatan dan menargetkan 300 ribu jembatan dibangun di pelosok, dengan harapan “tahun depan” jembatan bisa berdiri.
Niatnya jelas: mencegah anak sekolah mempertaruhkan nyawa saat menyeberang sungai.
Namun niat baik tidak otomatis menjadi kebijakan yang baik jika definisi, peta kebutuhan, dan mekanisme eksekusinya tidak rapi.
Mengapa Infrastruktur Dasar Sangat Penting
Infrastruktur dasar adalah “biaya sunyi” dalam kehidupan ekonomi. Ia menentukan harga barang di warung, menentukan jam tempuh anak ke sekolah, menentukan apakah warga bisa mencapai puskesmas saat darurat, dan menentukan apakah hasil panen bisa sampai ke pasar sebelum membusuk.
Dalam bahasa sederhana, jembatan adalah resleting pada jaket. Jaket boleh bagus, tetapi tanpa resleting fungsinya hilang.
Begitu pula ekonomi desa: produksi ada, tenaga kerja ada, tetapi tanpa akses, semua tetap terkurung.
Karena itu pembangunan jembatan bisa menjadi motor pembangunan sosial-ekonomi, karena ia menurunkan ongkos harian, membuka layanan publik, dan memperkecil ketimpangan kesempatan.
Tetapi prasyarat bukan jaminan. Jembatan membuka jalan, tetapi kemajuan terjadi jika di sekelilingnya ada paket kebijakan yang membuat akses itu benar-benar dipakai: jalan penghubung, transportasi, layanan dasar, dan aktivitas ekonomi.
Ambisi Besar Memerlukan Definisi yang Tegas
Masalah terbesar dari angka 300 ribu adalah risiko angka tanpa kelas. Untuk memberi konteks, pemerintah mencatat ada sekitar 18.917 jembatan di ruas jalan nasional. Maka 300 ribu hampir pasti mencakup jembatan kecil desa, penyeberangan sederhana, atau jembatan darurat, bukan hanya jembatan standar yang selama ini dibangun lewat mekanisme proyek konvensional.
Di sinilah kebijakan harus mulai dari definisi: apa yang disebut satu unit jembatan?
Apakah jembatan pejalan kaki, jembatan motor, atau jembatan kendaraan logistik?
Tiga kategori ini beda desain, beda biaya, beda standar, dan beda dampak ekonomi.
Tanpa klasifikasi, target menjadi kabur dan evaluasinya mudah dimanipulasi.
Kita juga perlu jujur pada kapasitas historis. Program jembatan gantung yang selama ini dikenal sebagai solusi akses desa dibangun ratusan unit secara kumulatif sejak 2015 hingga 2023.
Pada 2025, Kementerian PU mengalokasikan Rp246,36 miliar untuk membangun 43 jembatan gantung. Ini menunjukkan kemampuan pembangunan bisa meningkat, tetapi loncatan dari puluhan menjadi puluhan ribu per tahun membutuhkan perubahan cara kerja, bukan sekadar penambahan target.
Bisakah 300 Ribu Jembatan Menjadi Pintu Pembangunan Sosial? Bisa, Dengan Syarat
Jawabannya: bisa, tetapi syaratnya jelas.
Pertama, target harus diubah dari “angka tunggal” menjadi “peta kebutuhan.”
Negara perlu inventaris terpadu pusat dan daerah: lokasi penyeberangan berbahaya, jumlah warga terdampak, akses ke sekolah dan layanan kesehatan, serta peran ekonomi wilayah.
Data kondisi jembatan di jaringan nasional sudah memiliki sistem pemantauan, tetapi kebutuhan terbesar justru banyak berada di luar ruas nasional.
Kedua, prioritas harus berbasis dampak sosial, bukan berbasis siapa yang paling cepat mengusulkan.
Jika motif awal kebijakan adalah keselamatan anak dan akses layanan, indikator keberhasilannya juga harus mengikuti: penurunan titik penyeberangan berbahaya, berkurangnya waktu tempuh anak ke sekolah, serta membaiknya akses ke layanan publik.
Ketiga, program harus industrial dan modular. Kejar skala besar hanya masuk akal jika desain distandardisasi, material direncanakan, dan kontraktor lokal diperkuat.
Kalau semua jembatan diperlakukan sebagai proyek unik, mahal, dan lama, target akan selalu kalah oleh waktu.
Keempat, jangan abaikan pemeliharaan. Pemerintah sendiri menggarisbawahi pentingnya inspeksi serta kompetensi pemeriksa jembatan untuk menjamin keamanan dan keberlanjutan layanan.
Jembatan yang dibangun cepat tetapi tidak dirawat akan berubah menjadi risiko baru beberapa tahun kemudian. Ini yang sering tidak populer dibicarakan, padahal lebih menentukan keselamatan.
Anggaran Jumbo: Yang Perlu Dicermati
Risiko pertama adalah risiko fiskal. Jembatan bukan hanya biaya bangun, tetapi biaya gaya hidup: pemeliharaan, rehabilitasi, dan penggantian.
Kalau APBN hanya kuat membangun namun lemah merawat, kita sedang menciptakan “utang keselamatan” untuk masa depan.
Risiko kedua adalah tata kelola. Skala besar selalu menggoda pemborosan dan kualitas yang turun diam-diam. Karena itu transparansi harus dipasang sejak awal: peta lokasi terbuka, nilai kontrak terbuka, standar teknis jelas, dan pengawasan melibatkan publik.
Satgas boleh mempercepat koordinasi, tetapi tidak boleh memangkas akuntabilitas.
Ada risiko ketiga yang sering luput: jembatan tanpa jalan penghubung ibarat pintu megah tanpa rumah. Jembatan harus dibaca sebagai simpul jaringan, bukan berdiri sendiri.
Tanpa jalan pendekat yang layak dan moda transportasi, akses ekonomi tidak bergerak.
Selain Jembatan, Infrastruktur Apa Lagi yang Dibutuhkan
Agar jembatan benar-benar mengoptimalkan pembangunan sosial-ekonomi, daerah membutuhkan paket infrastruktur dasar: jalan penghubung, air bersih dan sanitasi, listrik stabil, serta konektivitas digital. Daerah juga butuh infrastruktur layanan: sekolah yang layak, puskesmas yang siap, dan sistem logistik lokal yang membuat produksi desa punya nilai jual.
Target 300 ribu jembatan bisa menjadi pintu pembangunan sosial, tetapi hanya jika diubah dari angka politik menjadi program teknokratis yang terukur: definisi unit jelas, peta kebutuhan berbasis data, prioritas berbasis dampak sosial, desain modular yang bisa diskalakan, pendanaan yang menghitung pemeliharaan, dan tata kelola yang transparan.
Niat baik sudah ada. Yang menentukan kini adalah apakah negara sanggup menyambungkan ambisi dengan kapasitas, dan janji dengan kualitas.***
Penulis : Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
























