Jalan Cepat yang Bisa Berbalik Bumerang
KUNINGAN (MASS) – Menteri Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PKP) Maruarar Sirait baru-baru ini menggagas agar pengembang rumah subsidi dapat melantai di bursa (IPO) sebagai alternatif pembiayaan. Tujuannya sederhana: menambah sumber dana di tengah keterbatasan anggaran negara untuk mengejar program 3 Juta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Namun gagasan yang tampak progresif ini menyimpan persoalan besar. Pasar modal tidak dirancang untuk sektor dengan margin rendah dan ketergantungan tinggi pada subsidi pemerintah. Bila dijalankan tanpa kesiapan struktural, langkah ini bisa menjadi jalan pintas menuju krisis baru di sektor properti rakyat.
Dalam teori ekonomi, pasar modal mempertemukan pihak yang butuh dana dan pihak yang punya kelebihan dana. Tetapi pasar bekerja berdasarkan ekspektasi laba dan sentimen investor, bukan pada misi sosial.
Sementara bisnis rumah subsidi memiliki karakter berbeda. Keuntungannya tipis, sekitar 5–8 persen, bergantung pada plafon harga dan bantuan bunga KPR dari skema FLPP.
Ketika harga bahan bangunan naik atau subsidi terhambat, margin langsung tergerus.
Jika pengembang kecil masuk bursa, mereka harus bersaing dengan emiten properti besar seperti Ciputra Group atau Summarecon yang punya diversifikasi portofolio dan likuiditas tinggi.
Di mata investor, pengembang rumah subsidi akan tampak berisiko tinggi dan kurang menarik.
Pasar tidak akan menilai niat baik pemerintah, tetapi memandang kemampuan menghasilkan keuntungan.
Empat Risiko Utama
Pertama, risiko margin tipis. Kenaikan harga bahan bangunan lima persen saja bisa memangkas separuh margin.
Tekanan untuk menunjukkan kinerja di depan investor publik bisa membuat pengembang menurunkan kualitas rumah atau menekan biaya pekerja.
Kedua, risiko fiskal dan kebijakan. Rumah subsidi sangat bergantung pada keberlanjutan subsidi dan kuota FLPP.
Bila APBN menurun atau pemerintah mengalihkan fokus fiskal, arus kas pengembang bisa terguncang dan harga saham ikut jatuh.
Ketiga, risiko tata kelola. IPO bukan sekadar memperoleh dana. Setelah terdaftar di bursa, perusahaan wajib menyusun laporan keuangan triwulanan, diaudit, dan menjaga transparansi.
Bagi pengembang skala UMKM, beban administrasi ini dapat menjadi jebakan likuiditas baru.
Keempat, risiko gelembung dan spekulasi. Dorongan IPO tanpa seleksi ketat bisa memunculkan “bubble mini”. Pengembang tergoda ekspansi berlebihan, sementara proyek belum menghasilkan arus kas.
Fenomena ini mirip dengan subprime crisis di AS 2008, ketika niat mulia menyediakan rumah murah berakhir dengan krisis keuangan global.
Pelajaran dari Kasus Nyata
Contoh sudah terlihat. PT Ingria Pratama Capitalindo Tbk (GRIA), pengembang rumah subsidi, menggelar IPO pada 2023 dan menghimpun sekitar Rp 350 miliar.
Namun laporan keuangannya menunjukkan laba bersih hanya Rp 1,7 miliar dengan defisit Rp 14 miliar. Sahamnya tidak bergerak signifikan.
Ini bukti bahwa pasar tidak otomatis memberi nilai tambah pada pengembang rumah subsidi.
Bila banyak perusahaan serupa dipaksa masuk bursa, potensi “kluster risiko” bisa muncul di segmen perumahan rakyat.
Niat Baik Tak Selalu Berbuah Baik
Krisis sering lahir dari niat mulia. Upaya memperluas kepemilikan rumah di AS lewat kredit murah justru memicu subprime meltdown.
Indonesia tentu berbeda, tetapi arah kebijakannya serupa: memperluas akses perumahan dengan instrumen pasar.
Bila tidak hati-hati, dorongan IPO pengembang rumah subsidi bisa mengubah proyek sosial menjadi arena spekulasi finansial.
Ketika euforia saham menggantikan misi sosial, rakyat kecil bisa menjadi korban baru—bukan karena gagal KPR, melainkan karena “harga rumahnya” dijadikan permainan di bursa.
Alternatif yang Lebih Aman
Pemerintah sebenarnya punya opsi lain yang lebih aman dan sesuai karakter sektor ini:
Pertama, Perkuat dana bergulir perumahan dan KUR perumahan agar pengembang kecil mendapat pembiayaan bunga rendah tanpa harus membuka saham.
Kedua, Dorong sukuk dan green bond proyek perumahan rakyat, sehingga investor tetap berpartisipasi tanpa mengubah struktur kepemilikan.
Ketiga, Bangun skema Public-Private Partnership: pemerintah sediakan lahan, pengembang bangun rumah, investor memperoleh imbal hasil berbasis sewa.
Keempat, Ciptakan papan khusus (SME Board) di BEI untuk pengembang MBR, dengan persyaratan tata kelola yang lebih realistis.
Dengan cara ini, pasar modal tetap berperan tetapi tidak memaksa sektor yang rentan bersaing di arena yang terlalu keras.
Jangan Tukar Rumah Rakyat dengan Spekulasi Bursa
Gagasan Menteri PKP harus dilihat sebagai dorongan inovatif, bukan solusi tunggal.
Namun mendorong pengembang rumah subsidi masuk bursa tanpa persiapan kelembagaan, tata kelola, dan perlindungan pasar sama saja menyiapkan krisis baru.
Pasar modal boleh menjadi pelengkap, tapi bukan penyelamat utama.
Tujuan menyediakan rumah layak bagi rakyat tidak boleh berubah menjadi lomba valuasi saham. Karena bila sektor perumahan rakyat goyah, yang runtuh bukan hanya tembok rumah, tapi kepercayaan publik terhadap keadilan ekonomi itu sendiri.***
Achmad Nur Hidayat Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta









