KUNINGAN (MASS) – Kepala Badan Gizi Nasional telah menyatakan pembekuan terhadap penyedia pangan siap saji (SPPG) yang melanggar SOP. Ketegasan ini patut diapresiasi, sebab keselamatan anak tidak bisa ditawar.
Namun pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah: apakah membekukan satu-dua SPPG cukup untuk menghentikan rangkaian keracunan yang berlangsung lebih dari dua bulan?
Jawaban jujurnya—belum. Pembekuan itu ibarat menarik rem darurat ketika mobil menukik, tetapi tidak memperbaiki sistem rem, tidak menambal ban yang aus, dan tidak mengembalikan rasa aman penumpang.
Kita tidak boleh lagi memadamkan api per kasus.
Yang harus dibetulkan adalah desain kebijakan dan SOP besar—kontrak, data, struktur pengawasan, serta arsitektur kelembagaan—agar Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali dipercaya dan benar-benar menghadirkan makan bergizi yang aman.
Mengapa Masalah Ini Berlarut: Arsitektur yang Bocor, Bukan Sekadar Dapur yang Lalai
Keracunan yang berulang lintas wilayah jarang murni karena kelalaian individu.
Pola yang konsisten menandakan kegagalan desain.
Insentif kontrak saat ini terlalu menekankan volume dan harga, bukan keselamatan.
Ketika penyedia SPPG dikejar banyaknya porsi dan rendahnya biaya, tiga hal tak kasatmata—suhu, waktu simpan, dan sanitasi—cenderung dikompromikan padahal di situlah benteng terakhir melawan kontaminasi.
Standar teknis memang tertulis, tetapi kendali lapangan tidak real time.
Formulir checklist bisa ditandatangani sementara makanan melintasi “zona bahaya” 5–60°C terlalu lama.
Pelacakan batch lemah; ketika anak jatuh sakit, butuh waktu berhari-hari untuk mengetahui dari mana bahan berasal, pukul berapa dimasak, siapa yang mengirim, dan sekolah mana saja yang menerima.
Sementara itu, struktur pengawasan terfragmentasi antara Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, BPOM, pemerintah daerah, sekolah, dan SPPG—tidak ada satu komando operasional yang memegang keputusan cepat.
Pergantian tenaga juru masak/handler yang tinggi tanpa lisensi periodik membuat pengetahuan tentang titik kendali kritis sering berhenti di ruang pelatihan, bukan hidup di dapur.
Analogi Penerbangan: Kita Butuh “Black Box” Pangan, Bukan Sekadar Teguran
Industri penerbangan tidak aman karena pilotnya selalu sempurna, melainkan karena sistemnya didesain untuk mengelola risiko: ada daftar periksa praterbang, perekam data (black box), prosedur darurat, investigasi tuntas dengan tenggat jelas, dan publikasi ringkas agar semua maskapai belajar.
Tidak ada kecelakaan yang diperlakukan sebagai “kasus maskapai A”; semuanya menjadi pelajaran sistemik.
MBG perlu filosofi serupa. Setiap boks makanan harus memiliki jejak digital: suhu inti saat matang minimal 75°C, lama perjalanan, lokasi, dan waktu serah terima terekam oleh thermologger dan QR yang dipindai di sekolah.
Jika data melewati ambang, aplikasi memberi peringatan “no-serve” kepada kepala sekolah.
Ketika ada tiga anak bergejala dalam 24 jam, Incident Command System aktif: stop serve, telusur batch sejenis, amankan sampel simpan 200 gram per menu, uji cepat, dan dalam 72 jam kita sudah memiliki analisis sebab akar serta tindakan korektif yang diumumkan secara ringkas.
Itulah cara mengubah kejadian dari “kasus” menjadi “perbaikan sistem”.
Percepatan Perpres: Sinyal Tepat, Tapi Harus Disertai Transisi, Wewenang, dan Anggaran
Percepatan Perpres Tata Kelola MBG adalah langkah politik yang benar—kita beralih dari imbauan ke mandat.
Namun regulasi hanya kerangka; yang membuatnya bernapas adalah tata laksana.
Perpres harus memuat ketentuan transisi yang tegas: jalur cepat sertifikasi dapur pusat, pengakuan sementara terhadap peralatan minimal yang memenuhi batas aman, serta tenggat kapan seluruh SPPG wajib terhubung ke pelacakan digital.
Delegasi wewenang operasional kepada unit pelaksana—Otoritas MBG atau nomenklatur setara—harus eksplisit, agar keputusan no-serve, recall, dan switch menu berbasis risiko bisa diambil dalam jam, bukan pekan.
Anggaran perlu diberi penandaan khusus untuk keselamatan dan digitalisasi: thermologger, dashboard, pelatihan lisensi tenaga, dan jejaring laboratorium.
Agar lincah tetapi terukur, pasal-pasal kunci diberi sunset review 12 bulan: apa yang macet diperbaiki, apa yang tidak efektif dipangkas.
Kecepatan akan tercapai bila hari pertama Perpres terbit, aturan teknis tiga serangkai juga terbit: standar minimum yang langsung berlaku, mekanisme no-serve nasional, dan rencana 90 hari dengan target mingguan yang bisa diinspeksi publik.
Empat Pilar Desain Ulang: Kontrak, Data, Komando, dan Arsitektur Produksi
Pilar pertama adalah kontrak berbasis keselamatan.
Pembayaran dan perpanjangan kerja disyaratkan oleh indikator keselamatan: nol kasus berat, kepatuhan suhu dan waktu, keterlambatan pengiriman yang rendah, skor audit sanitasi minimal 90 sebagai contoh.
Penyedia yang konsisten hijau memperoleh insentif; yang merah otomatis di-hold sampai koreksi tuntas.
Performance bond dan asuransi tanggung gugat produk menjadi kewajiban sehingga korban memperoleh kompensasi otomatis tanpa tarik ulur.
Pilar kedua adalah data dan pelacakan. Kita menerapkan MBG-Trace: QR per batch dari bahan—olah—kirim—saji; thermologger di setiap cool box
Pilar ketiga adalah struktur pengawasan satu komando.
Otoritas MBG menjadi titik akuntabilitas tunggal dan mengoperasikan ICS 72 jam.
Begitu ada sinyal klaster, batch serupa dihentikan, sampel diamankan, uji cepat dilakukan, dan komunikasi risiko kepada orang tua dilakukan pada hari yang sama.
Publik diberi akses dashboard keselamatan yang menampilkan skor audit, kepatuhan suhu, dan status tindak lanjut.
Pilar keempat adalah arsitektur produksi yang ramah risiko. Kita membangun model hybrid: dapur pusat berlisensi mengolah menu berisiko tinggi, sekolah melakukan finishing dan plating.
Pada hari panas ekstrem atau ketika catatan suhu rapuh, sistem otomatis mengganti menu ke opsi shelf-stable: buah utuh, telur rebus, susu UHT, roti fortifikasi. Gizi terjaga, risiko mikrobiologi ditekan tanpa mengorbankan layanan.
Peran Puskesmas dan UKS: Dari Penonton Menjadi Garda Depan
Melibatkan Puskesmas dan UKS mengubah MBG dari program katering massal menjadi sistem kesehatan masyarakat berbasis data.
UKS menjadi sentinel di sekolah: memindai QR batch, mengukur dan mengunggah suhu penerimaan, memastikan penyajian kurang dari satu jam, menyimpan retained sample 200 gram selama 48 jam, serta mencatat gejala standar.
Puskesmas bertindak sebagai food safety officer wilayah: patroli acak, memverifikasi data logger, melakukan uji cepat ATP, dan berwenang menetapkan no-serve di tempat bila ambang dilanggar.
Data status gizi anak—BB/TB, anemia, absensi karena diare—mengalir dari Puskesmas ke perencanaan menu, sehingga pemerataan gizi berubah dari slogan menjadi operasi lapangan.
Integrasi dengan BMKG dan BPBD memungkinkan kalender risiko gizi-iklim: saat curah hujan tinggi atau gelombang panas, sistem menyarankan peralihan menu yang lebih aman.
Ekosistem Mitra: Regulator, Laboratorium, UMKM, Logistik Dingin, dan Orang Tua
BPOM dan jejaring laboratorium perguruan tinggi atau rumah sakit menjadi penjaga mutu melalui uji mikrobiologi periodik dan proficiency testing.
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota memastikan kontrak berbasis keselamatan berjalan dan menyediakan budget tagging bagi logger, audit, dan pelatihan. Dinas Ketahanan Pangan dan pembinaan UMKM memasok bahan baku dari pemasok terakreditasi, sementara BUMN atau swasta logistik menyediakan rantai dingin dengan SLA pengiriman maksimal tiga jam. Organisasi profesi—IDI, IDAI, PERSAGI, Persatuan Sanitarian, Ikatan Apoteker—mengembangkan kurikulum lisensi tahunan untuk juru masak, handler, dan driver.
Komite sekolah dan orang tua menjadi mata kedua melalui kanal pengaduan cepat yang terhubung ke ICS. Transparansi menjadi perekat: dashboard publik menampilkan skor keselamatan per SPPG dan sekolah dengan penanda merah-kuning-hijau agar kepercayaan tumbuh kembali.
Rencana 90 Hari: Dari Moratorium Bersyarat ke Uji Tegangan Nasional
MBG Adalah Kontrak Kepercayaan, Bukan Sekadar Program Bantuan
MBG bermakna negara diminta menyediakan makanan dari dapur yang tidak dilihat orang tua pada waktu yang tidak mereka saksikan.
Sebagai gantinya, negara wajib menghadirkan sistem yang lebih disiplin dari dapur rumah: kontrak yang menjadikan keselamatan sebagai satu-satunya cara bertahan, data yang berbicara jujur setiap menit, pengawasan satu komando ketika alarm berbunyi, dan arsitektur penyediaan yang mengakui realitas iklim tropis.
Pembekuan SPPG pelanggar adalah awal yang benar, tapi tidak cukup. Kita harus mengubah permainan dari memadamkan api per kasus menjadi membangun bangunan yang tahan api.
Dengan Perpres yang pro-eksekusi, pelibatan nyata Puskesmas dan UKS, ekosistem mitra yang bertanggung gugat, serta empat pilar desain ulang yang berjalan serempak, niat pemerataan gizi untuk anak bangsa tidak hanya mungkin, tetapi tidak terelakkan. Ketika anak-anak kembali makan tanpa cemas, kita bisa berkata: negara hadir bukan dengan poster, tetapi dengan sistem yang bekerja.***
Achmad Nur Hidayat — Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
